Tentu saja bukan berarti prajurit biasa dan rakyat sipil tidak merasakan sakit sama sekali selama perang di abad lampau itu. Dari zaman baheula sampai sekarang, di belahan bumi mana pun, watak perang yang melibatkan senjata tak pernah berubah; niscaya berakhir dengan kesakitan, kematian, kesedihan, dan trauma.Â
Pada abad lampau, prajurit biasa dan rakyat sipil barangkali hanya 'kurang beruntung', kalau boleh disebut demikian, sebab tak ada penggubah cerita yang bersedia mengabadikan kisah besar dari kacamata personal.
Dalam semesta lokalitas kita misalnya, cobalah tengok narasi-narasi perang kerajaan tradisional. Apakah kita bisa menemukan cerita dari seorang abdi yang terlibat Perang Bubat? Atau tentang penuturan seorang prajurit Mongol yang menyerang Singasari? Bagaimana perasaan dan penderitaan mereka saat itu?
Yuval Noah Harari dalam Homo Deus memberi contoh lewat penggambaran lukisan berjudul Gustavus Adolphus of Sweden at the Battle of Breitenfeld karya Jean-Jacques Walter.Â
Perang itu terjadi pada 17 September 1631. Sang pelukis membidik medan perang dari atas; Gustav Adolph bak menjulang tinggi, ia menunggangi kudanya dengan gagah di puncak bukit sementara di belakangnya terbentang luas ribuan prajurit sampai yang hanya tampak titik-titik kecil, tanpa wajah dan tanpa nama.
"... Dia meninggalkan Amerika 31 bulan yang lalu. Dia terluka dalam operasi militer pertamanya. Dia menderita penyakit tropis. Tidak ada makanan atau air di bukit kecuali apa yang dibawa. Dia setengah tidur di malam hari dan membodoh-bodohi orang Jepang sepanjang hari. Dua pertiga dari kompinya telah terbunuh atau terluka tapi dia masih bertahan. Dia akan kembali menyerang pagi ini. Berapa banyak yang bisa ditanggung manusia?" (Majalah LIFE, 11 Juni 1945)
Lea mengenali subjeknya dari dekat. Ia ingin agar khalayak ikut merasakan pengalaman emosional seorang prajurit biasa. Tatapan nanar itu begitu menusuk. Yuval dalam Homo Deus bilang, "Jika Anda ingin memahami perang, jangan melihat jenderal di puncak bukit, atau para malaikat di langit. Namun, lihatlah langsung ke kedua mata tentara biasa."
Kembali ke film 1917. Serupa dengan yang dilakukan Lea, Sam Mendes meracik eksperimen one-shot yang, barangkali, belum pernah dilakukan dalam film-film perang sebelumnya.
Dengan one-shot, kita selalu mengikuti langkah Scho dan Blake, ke mana pun mereka pergi, melihatnya dari jarak dekat. Semua penonton memuja-muji keindahan sinematografi di dalam film, ini adalah kekuatan yang paling menonjol untuk 1917.
One-shot dalam 1917 bukan semata memberikan efek euforia visual, ia merupakan bentuk komunikasi alternatif di dalam film. Teknik ini memungkinkan terciptanya keintiman emosional para penonton. One-shot dalam 1917 melengkapi dan menguatkan imajinasi humanis.