Catatan kecil untuk film Kim Ji-young, Born 1982.
Ah, baiklah. Film ini sudah nangkring hampir dua pekan di bioskop--dan saya baru sempat menontonnya pada pekan kedua. Anda bisa menemukan ulasan umum tentang Kim Ji-young, Born 1982--selanjutnya akan disebut Kim Ji-young saja biar tidak pabeulit--yang banyak beredar di internet, setidaknya dalam bahasa Indonesia.
Jika bisa disimpulkan dari ulasan umum itu, kita akan sepakat kalau Kim Ji-young adalah film feminis yang tak menggembar-gemborkan slogan "feminisme". Kita juga sepakat, film ini dikemas dengan begitu gamblang dan apa adanya tanpa perlu kerumitan semiotika, terurama tanpa perlu mencekoki penonton dengan ceramah feminisme.
Film Kim Ji-young meninggalkan kesan personal bagi saya. Memori lampau yang bersembunyi di dalam otak tiba-tiba aktif kembali. Saya jadi punya atensi khusus untuk tiga generasi tokoh perempuan di dalam film.
Saya seperti menontoni cermin besar tak bertepi, tapi nyaris utuh memantul. Pada tokoh neneknya Ji-young (Ye Soo-Jung), saya melihat pantulan sosok nenek saya--nenek yang sama-sama berasal dari pihak ibu. Saya juga melihat ibu saya pada ibunya Ji-young (Mi-Sook). Dan saya melihat Kim Ji-young seperti melihat diri saya sendiri di masa lampau dan di masa depan.
Kalau Anda sempat memperhatikan, tentu bukan tanpa alasan kenapa Kim Ji-young bisa "kesurupan" menjadi tiga kepribadian yang berbeda--seolah-olah berbicara layaknya mendiang sang nenek, ibunya, dan sahabatnya yang sudah meninggal pasca-melahirkan. Ini seperti alam bawah sadar yang sepanjang hidupnya ia pupuk dan siap menjadi bom waktu saat dirinya tak berdaya menghadapi dunia yang mengamini patriarki.
Kepribadian lain itu seperti simbol suara yang selama ini direpresi, bahwa Kim Ji-young selalu gagal memenuhi kehendak dirinya sendiri. Tubuhnya terperangkap oleh sistem. Identitasnya selalu disetir oleh pakem.
Pada adengan Ji-young kecil berkumpul bersama para perempuan di meja makan, sindiran nenek Ji-young--dari pihak ayah--menyiratkan bahwa ia sangat berharap punya cucu laki-laki lebih banyak yang lahir dari rahim ibu Ji-young. Menurutnya, anak laki-laki lebih bisa diandalkan karena mampu bekerja, menghasilkan uang, dan menjaga orangtuanya di masa senja.
Sementara itu, nenek Ji-young dari pihak ibu mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Mungkin dengan cara itu ia ingin membela sang putri (ibu Ji-yeoung), menangkap kesulitan saat berhadapan dengan mertua, dan menempatkan diri sebagai ibu yang pernah dituntut untuk melahirkan anak laki-laki. Seakan-akan ia bilang, beginilah risiko jadi perempuan.
Ji-young kecil dengan polosnya ikut menyahut, aku bisa kok menjaga ibu kalau aku sudah besar. Dan mereka semua, para perempuan dewasa, tertawa mendengar celotehan Ji-young yang tak lebih dari lelucon belaka. Mereka seolah-olah bilang, memang perempuan bisa apa?
Sekonyong-konyong, saya jadi teringat ibu saya. Ia gagal melanjutkan pendidikan tinggi karena harus membantu perekonomian keluarga. Ia mengalah dan memberi prioritas pendidikan pada adik laki-lakinya. Saya pernah melihat rapor sekolah ibu, ia memang cukup pintar. Seandainya saja ibu bisa memenuhi impian itu, mungkin ia punya nasib yang jauh lebih baik. Ini juga persis dialami ibu Ji-young di masa mudanya.
Ibu saya juga harus gagal untuk yang kedua kalinya. Seperti Kim Ji-young yang baru menjadi ibu muda, ibu saya harus kehilangan pekerjaan yang cukup menjanjikan karena harus mengurus saya, si anak sulungnya. Mustahil rasanya jika ia bisa bekerja di tempat sedia kala sebab perusahaan lebih memilih pekerja yang usianya relatif muda ketimbang ibu saya yang saat itu sudah semakin menua.
Ibu saya tak mampu melawan bendungan sistem, ditambah tak punya bekal pendidikan tinggi. Sementara tokoh Kim Ji-young pada akhirnya mampu keluar dari tempurung, menjadi seorang ibu yang berbagi tugas mengasuh balita dengan suami sekaligus melanjutkan karier di luar rumah.
Saya juga jadi ingat bagaimana ibu selalu mewanti-wanti saya agar tak melepaskan karier jika suatu saat nanti sudah menikah dan punya anak. Belajar dari hidupnya yang mengalami ketidakadilan, ibu mendidik saya agar menjadi perempuan yang mandiri.
Bagaimana pun, perempuan dari generasi lama selalu berupaya menambal luka yang pernah dideritanya agar kelak tak lagi terjadi pada anak perempuannya. Begitu pula sebaliknya. Bagi Ji-young, saya, dan seluruh perempuan di dunia, ibu dan nenek menjadi sumber refleksi diri tentang apa itu "menjadi" perempuan, apa itu arti menjadi seorang anak, istri, sekaligus ibu.
Entah kenapa, bagi saya ikatan emosional garis matrilineal lebih kuat ketimbang patrilineal. Padahal, secara fisik saya lebih dekat dengan nenek dari pihak ayah karena pernah diasuhnya cukup lama ketimbang nenek pihak ibu yang mengasuh saya dengan waktu relatif singkat.
Saya menduga, mungkin itu karena ibu saya lebih sering menceritakan kehidupan nenek, tentang bagaimana ia menjalani peran sebagai seorang istri dan ibu. Sementara ayah saya tak pernah bercerita tentang orangtuanya dari sisi emosional. Mungkin itu pula yang menjadi alasan kenapa Kim Ji-young merasa lebih dekat dengan neneknya dari pihak ibu.
Saya jadi berpikir, kenapa film Kim Ji-young seolah-olah memandang sinis keluarga dari garis patrilineal? Hampir semua komentar-komentar pedas datangnya dari pihak ayah, terutama ibu mertua.
Saya sempat mengira, bukannya tidak mungkin si ibu mertua punya struggling-nya tersendiri atau punya pengalaman represi karena terlahir menjadi perempuan meskipun pada sisi-sisi tertentu mengamini patriarki? Seandainya di dalam film ibu Ji-young punya menantu perempuan dan merasa karier putra bungsunya terancam, mungkinkah ia akan memaki-maki sang menantu demi membela putranya?
Tapi saya berpikir lagi, Kim Ji-young ingin menyoroti bangun sistem, bukan persona semata-mata. Apa yang membuat ibu menantu jengkel karena Ji-young tak mampu menjadi seorang istri dan ibu yang setia pada aktivitas dapur maupun rumah, adalah sistem dan budaya patriarki itu sendiri. Ibu mertua terlanjur percaya bahwa patriarki menjanjikan hidup yang aman dan terjamin.
Jika film Kim Ji-young memang ingin menyoroti sistem, saya sebetulnya berharap menemukan adegan di mana seorang laki-laki juga bisa terluka karena patriarki. Sayangnya itu tidak terjadi. Entah kalau di dalam novelnya--ah betul, saya harus membacanya!
Kenyataannya patriarki pun bisa melukai laki-laki. Kalau Anda masih menganggap perempuan feminis itu anti-laki-laki, Anda salah besar. Luka karena patriarki ini terjadi pada adik laki-laki saya, misalnya.
Sewaktu adik saya masih duduk di bangku SD, doktrin-doktrin seperti laki-laki harus kuat, tangguh, berani, sedikit bandel, harus suka main dan paham bola, tidak boleh menangis, tidak boleh manja, dan tidak boleh lembek, sesungguhnya itu sangat menyiksanya. Bahkan orangtua saya sampai percaya kalau ada jin yang mengikuti dan memengaruhi perilakunya, sehingga adik saya harus dibawa ke "orang pintar". Saya tahu, ia begitu tertekan menghadapi ini.
Kembali lagi ke pembicaraan semula. Sewaktu remaja saya berasumsi bahwa ketidakberdayaan nenek saya saat dituntut kakek untuk memberi "pelayanan" layaknya kepada seorang raja, itu semata-mata karena faktor ekomoni. Nenek pasrah direpresi karena menganggap kemiskinan yang didera keluarganya adalah penyebab utama kenapa kakek suka marah-marah sendiri.
Tapi itu keliru. Ekonomi memang jadi salah satu pemicunya, tapi bukan satu-satunya. Faktor yang paling mempengaruhi adalah pendidikan. Iya, pendidikan. Tapi saya lebih suka mengartikan "pendidikan" ini bukan melulu soal pendidikan formal dan tinggi, tetapi juga pendidikan di luar ruang formal. Ingat Kartini? Memang apa yang paling mendorong kehendaknya untuk melawan patriarki kalau bukan karena pendidikan?
Di dalam film, Kim Ji-young toh berada dalam keadaan ekonomi yang serba-cukup, tapi masih saja belum berdaya untuk mendobrak penindasan. Apa yang menyelamatkan dirinya dari belenggu patriarki adalah pendidikan. Pendidikanlah yang menumbuhkan kesadaran. Apalagi ia mengambil jurusan sastra/humaniora yang notabene mempelajari problem sosial-budaya. Mustahil Ji-young tak tahu feminisme, hanya saja ia tak menggembar-gemborkan konsep itu.
Baik ibu maupun nenek saya masih beranggapan kalau permasalahan di dalam keluarga adalah aib besar yang sepatutnya ditutup rapat, alih-alih memandangnya sebagai problem universal yang terjadi pada semua perempuan di dunia. Keyakinan seperti ini tentu saja menyulitkan.
Baik saya maupun Ji-young adalah perempuan dari generasi "perbatasan" di dalam keluarga. Maksudnya, kami sama-sama harus berdiri dengan kaki sebelah yang memijak budaya patriarki yang terlanjur mengeras, sementara kaki yang satunya lagi harus memijak kesadaran untuk melawan sistem sampai ke akar-akarnya. Anda yang membaca ini serta orang-orang di luar sana, entah perempuan, laki-laki, ataupun orientasi gender lain, mungkin juga sedang berada di posisi ini.
Jika memikirkan peran Ji-young, saya pasti akan meraba-raba rupa pendidikan apa yang akan diberikan pada anak--entah anak biologis ataupun bukan, terutama bagi anak perempuan. Bagaimana cara saya menjelaskan pada mereka, generasi mendatang, bahwa dunia ini punya penyakit akut bernama budaya patriarki? Ji-young pasti membatin pertanyaan ini untuk putrinya yang tengah tumbuh, Jung Ah Young.
Film Kim Ji-young menyelipkan humor kecil yang kadangkala gelap, tapi ada saja penonton yang mampu melontarkan tawa. Di dalam bioskop saya sempat berbisik kepada seorang kawan di sebelah; "Aku tau ada beberapa adegan yang memang lucu. Tapi ngeliat ini semua (konflik yang dialami Kim Ji-young), aku ngga bisa click ke rasa humor itu. Aku ngga tau apa yang dipikirkan orang-orang yang bisa ketawa. Aku cuma merasa sedih."
Sebetulnya saya tidak yakin kata "sedih" ini betulan tepat sebagai akumulasi dari spektrum rasa yang saya alami selama menonton. Rasa marah, kecewa, putus asa, tak berdaya, dan sakit, semuanya bercampur jadi satu. Ini semua bukan sekadar perasaan sedih yang sepadan dengan "empati". Sebab empati menempatkan tokoh dalam film sebagai objek, bukan subjek yang mengalami. Bagi saya, Kim Ji-young adalah saya. Kim Ji-young juga adalah kita semua.
Aulia Adam lewat tulisannya di tirto.id mengajukan tiga reaksi pasca menonton Kim Ji-young yang sangat niscaya.
- Mereka yang terganggu dengan patriarki menggigit bibir, gemas karena ikut sakit saat menonton.
- Mereka yang masih bimbang tentang mudaratnya patriarki mulai bertanya-tanya tentang status quo-nya; dan,
- Mereka yang membela-bela patriarki makin tak nyaman dan terpaksa melempar gagasan untuk memboikot film ini.
Saya berada di nomor pertama. Saya juga ingin mengulang pertanyaan Aulia Adam lagi di sini; kalau Anda berada di nomor berapa?
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kalimat Simone de Beauvoir yang masyhur.
"Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan 'menjadi perempuan'."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H