Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Livi Zheng dan Adagium "Biarkan Karya yang Bicara"

5 September 2019   11:03 Diperbarui: 6 September 2019   13:47 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk peran protagonis, ada sih tokoh Elizabeth dan seorang detektif, keduanya penduduk Amerika. Tapi alangkah baik jika peran komplotan penjahat itu, Sullivan and the gank, juga diisi orang-orang dari lintas-bangsa-negara, sehingga gambarannya akan jadi fair.

Sebab secara tidak sadar, pandangan kita jadi ikut rasis. Stereotipnya masih langgeng. Kita jadi terjebak binaritas Asia-Amerika sebagai pertarungan antara yang baik dan yang jahat, atau antara yang polos dan yang cerdas, dan seterusnya. Padahal, dunia tidak sesempit itu.

Dari segi plot cerita, film Brush with Danger biasa saja. Tak ada yang istimewa. Formula yang membangun plotnya bahkan bisa kita temukan dalam FTV maupun sinetron. Pun Livi tidak menyodorkan isu sosial yang berangkat dari realitas, padahal film ini mengangkat isu imigran dan punya potensi berkembang ke arah yang luas.

Dari segi akting, Livi dan Ken tampak kaku dan tidak natural. Dari segi sinematografi, saya nggak sreg dengan transisi antar-scene yang tidak smooth. Musik latarnya juga biasa-biasa saja. Dialognya juga biasa-biasa saja.

Jadi saya berusaha meraba sisi-sisi lain dari film ini, siapa tau ada yang terlewat, apa sih yang sebetulnya patut dibanggakan sehingga akan bangga untuk menyebutnya sebagai "film yang masuk seleksi nominasi Oscar".

Tapi, apa, ya?

Saya jadi berpikir lagi, jebakan binaritas Asia-Amerika tidak hanya ada di dalam film, tapi juga di belakang layar Brush with Danger. Mari bertanya, kenapa seluruh aktor, kecuali Livi dan adiknya sendiri, bahkan para krunya diisi orang-orang Barat? Apa karena ingin terlihat "keren" ketika filmnya ditayangkan di Indonesia?

Tak keliru memang jika Livi, sebagai "perempuan, Asia, dan muda" ingin memperoleh pengakuan. Tidak keliru. Saya paham, ada rasa ingin mendobrak dan menentang kebesaran dunia yang dipupuk dalam sebuah mimpi. Ingin membuktikan kalau hei, Asia juga bisa, lho! 

Masalahnya, Livi mirip seperti tokoh Alice yang diciptakan dan diperankannya itu. Menentang sekaligus menikmati kacamata Barat. Perbedaannya hanya terletak pada privilese. Livi punya privilese finansial dan pendidikan, ia sangat menikmati tinggal di Amerika. Sementara Alice tak punya privilese apa pun.

Mungkin itu sebabnya ada kecacatan atas usaha penggambaran tokoh Alice yang dilakukan Livi. Ia enggan melepaskan kacamata khas Barat-nya ketika memerankan Alice. Livi, sebagai orang Asia, gagal memerankan Alice sebagai representasi minoritas. Ia melihat sosok Alice dari singgasananya di Amerika, bukan melihat dari dalam rumahnya sendiri, negara Asia, beserta problem-problem sosial yang menyelimutinya.

Kita berhusnuzon saja dulu, terlepas dari isu 'koneksi bisnis di Kemayoran' yang menyertainya, mungkin Livi Zheng masih puber-nasionalisme dan puber-Hollywood-isme--menyitir istilah Pandji Pragiwaksono. Katanya, yang serba puber-puber itu emang nyebelin. Livi harus belajar menggali perspektif-perspektif lain supaya impiannya bisa terwujud, supaya karyanya bisa besar dan bicara sendiri--juga biar nggak di-bully warganet yang super-ngehe, hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun