Akhir-akhir ini sedang hangat pemberitaan atas perkembangan kasus pelecehan seksual yang terjadi pada Baiq Nuril dan Fairuz A. Rafiq. Pada 5 Juli lalu, upaya peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril ditolak MA dan saat ini kuasa hukumnya tengah berjuang mengajukan amnesti kepada presiden Jokowi. Amnesti adalah jalan terakhir bagi Baiq Nuril agar bisa terlepas dari hukuman enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah.
Di pihak lain, pada 11 Juli kemarin, Galih Ginanjar, Rey Utami, dan Pablo Benua ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait istilah "bau ikan asin" yang melecehkan Fairuz, mantan istri Galih. Galih telah mencemarkan nama Fairuz karena menyebut organ intim mantan istrinya itu dengan "ikan asin".
Setidaknya, ada kesamaan dan perbedaan pada dua kasus ini.
Kesamaannya, dua-duanya termasuk dalam kategori pelecehan verbal yang direkam dan disebar melalui media digital.
Perbedaannya, jika Fairuz sebagai korban pelecehan berhasil menjerat pelakunya, sebaliknya Baiq Nuril sebagai korban pelecehan justru dipidanakan. Fairuz bisa mempersenjatai dirinya dengan menggunakan UU ITE, sebaliknya pada Baiq Nuril UU ITE itu malah tumpul kepada pelaku dan menjelma peluru tajam yang menghujam pada Baiq Nuril sebagai korban.
Jangan Anggap Enteng Pelecehan VerbalÂ
Sadarkah kita? Bahwa pelecehan seksual verbal memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi "bencana" dalam wujud kekerasan fisik?
Kasus yang menimpa Baiq Nuril dan Fairuz penting sekali dijadikan pembelajaran bahwa pelecehan seksual berbentuk verbal itu nyata adanya. Memang, keuntungan hidup di zaman teknologi modern ini memudahkan korban mengantongi bukti fisik, entah itu audio maupun video.Â
Bisa dibayangkan kalau kasus semacam ini terjadi pada era pra-teknologi modern, bagaimana peliknya menunjukkan bukti konkret kepada penegak hukum?
Saya kira ada dua penyebab kenapa pelecehan verbal selama ini dianggap remeh. Pertama, ketidakmampuan menghadirkan bukti konkret. Kedua, kuasa patriarki yang mengakar kuat dalam sendi-sendi kehidupan kita. Dua hal ini saling berkelindan dan saling merestui. Juga dijadikan pembenaran laki-laki yang tak mau status quo-nya terusik.
Sejak dua kasus ini mencuat ke publik, kita harus menyadari bahwa pelecehan verbal itu bukan sesuatu yang mengada-ada. Baik pelecehan fisik maupun non-fisik sama-sama berbahaya.
Kasus semacam ini bukan lagi soal lempar-melempar rasa sakit hati atau upaya balas dendam antara pelaku dan korban sehingga menimbulkan pencemaran nama baik.Â