Dilansir dari kompas.com, menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, saat ini sistem hukum di Indonesia belum ada yang mampu memayungi kasus semacam pelecehan non-fisik. Ujung-ujungnya, malah lari ke UU ITE dan pelaku bisa lolos dari jerat hukum seperti yang dialami Baiq Nuril.
Karena menggunakan UU ITE ini, penegak hukum hanya berputar-putar di lingkaran terluar, hanya bergumul tentang "siapa yang merekam atau menyebarkan konten".Â
Padahal substansinya sudah terang-benderang, yaitu pelecehan seksual. Kenyataan seperti ini membuktikan bahwa penegak hukum gagal mengedepankan substansi yang pokok itu, gagal melindungi korban kekerasan seksual.
Fairuz bernasib baik karena jelas mantan suami dan dua kawannya itu terlibat dalam skema produksi dan penyebar-luasan konten video dengan tujuan konsumsi publik di YouTube. Tapi Baiq Nuril belum bernasib baik, dianggap bersalah karena merekam suara si pelaku melalui telepon.Â
Padahal apa yang sudah dilakukan Baiq Nuril itu merupakan langkah perlawanan yang progresif; apa yang direkamnya itu adalah barang bukti dan bukan sengaja dibuat dengan tujuan konsumsi publik.
Apa yang dialami Baiq Nuril dan Fairuz seharusnya menjadi peringatan keras agar pemerintah mengkaji kembali produk hukum di Indonesia yang benar-benar ramah gender. Udah mah UU ITE itu pasal karet, tetap dipakai pula untuk menangani kasus kekerasan seksual yang pelik dan berlapis.
Kasus semacam ini juga harus jadi momentum bagi Komnas Perempuan dan para aktivis perempuan agar jangan pernah lelah dan terus mendesak pengesahan RUU-PKS. Kenapa RUU-PKS? Karena RUU ini sangat jelas memuat berbagai jenis tindak kekerasan seksual serta mengedepankan dan melindungi korban.
Yah, rasanya saya tak perlu bertele-tele menyebutkan kembali pasal-pasal RUU-PKS itu, saya berprasangka baik saja kalau Anda sudah "akrab dan bosan" mendengar ihwal ini sepaket dengan hiruk-pikuk pertentangan dan penolakan dari kelompok konsevatif.
Ya, kalau saya sih termasuk orang yang tetap berharap RUU-PKS ini bisa disahkan di kemudian hari, meski entah kapan itu terjadi, harus menunggu dan berjuang dalam penantian panjang.
Eh, tapi jangan terlalu larut dalam penantian panjang itu. Sebab yang di depan mata saat ini adalah memberi dukungan amnesti untuk Baiq Nuril, jalan terakhir bagi Baiq Nuril untuk menuntut keadilan.
Kalau menurut Kompasianer, bagaimana?