"Sebagaimana tadi telah saja katakan: kita mendirikan negara Indonesia, jang kita semua harus mendukungnja. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito jang kaja buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia buat semua!"Â
-- Pidato Bung Karno pada Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1945
(Dikutip dari Raja Kretek Nitisemito oleh Alex Soemadji Nitisemito, 1980. Cetak tebal oleh penulis.)
Nama Nitisemito melambung sejak kretek produksinya, cap Bal Tiga, laris di pasaran pada awal abad ke-20. Pabrik kretek Bal Tiga yang didirikannya ini merupakan salah satu perusahaan kretek terbesar dan paling awal yang pernah didirikan pribumi di Hindia Belanda.
Pada puncak kejayaannya, Nitisemito dikabarkan mampu mempekerjakan 15.000 orang seperti dilansir dalam tulisan Alex Soemadji Nitisemito (1980: 33). Dikutip dari buku yang disusun Margana et al. berjudul Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya (2014: 61) dan Abhisam DM et al. berjudul Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek (2011: 28), Nitisemito juga tercatat sebagai pengusaha pribumi yang mampu mempekerjakan orang Belanda sebagai tenaga profesional di pabriknya, yaitu H.J. Vooren (seorang akuntan swasta) dan Poolman (akuntan dari pemerintah kolonial). Nitisemito memang sedemikian masyhurnya, hingga Bung Karno tak alpa menyempilkan nama Nitisemito dalam pidatonya dan menyebut Nitisemito sebagai orang terkaya di Hindia Belanda.
Perusahaan Bal Tiga dikenal sebagai perusahaan yang berani melakukan gebrakan dalam metode pemasaran. Pada masa itu Bal Tiga tampil mencolok di antara perusahaan kretek pribumi karena berhasil mengadopsi sistem modern untuk metode pemasarannya yang hanya lazim dilakukan golongan Eropa.
Bal Tiga telah mampu menyediakan berbagai jenis hadiah untuk para pelanggannya dengan cara menukarkan sejumlah bungkus kretek Bal Tiga, mulai dari gelas, piring, cangkir, hingga arloji, sepeda, jam tembok, dan sebagainya. Tidak berhenti sampai di situ, Bal Tiga juga menggunakan jasa kereta api, SJS-line, KPM, postpaket, dan pada tahun 1922 telah memiliki autobus sendiri untuk distribusi produknya.
Kesuksesan yang Nitisemito raih, tentu bukanlah sesuatu yang begitu saja jatuh dari langit, mengingat pada masa itu bangsa asinglah yang mendominasi setiap aspek kehidupan di Hindia Belanda.
Sebagai pribumi yang tidak memiliki privilese di dalam struktur kehidupan kolonial, terlebih tidak pernah mengenyam pendidikan formal, Nitisemito eksis dengan julukan Kretek-Koning atau "Raja Kretek" dari Kudus yang mengundang decak-kagum dari berbagai kalangan, tidak hanya dari rakyat kebanyakan namun juga dari para pembesar.
Citra Etos Kerja Keras yang Kuat
Dalam narasi sejarah kretek, penyajian kisah keuletan seorang pengusaha kretek menjadi suatu hal yang sering mendapat sorotan. Rujukan paling umum untuk menerangkan situasi ini adalah dalam tulisan Parada Harahap, seorang wartawan di Hindia Belanda, yang menulis buku berjudul Indonesia Sekarang (1952). Parada Harahap melakukan sejumlah penelusuran terhadap para pengusaha kretek di Kudus masa kolonial. Menurutnya, para pengusaha kretek disebut sebagai orang yang zelfmademan atau orang yang mampu memajukan dirinya sendiri tanpa melalui privilese tertentu.
Melalui bukunya tersebut, Parada Harahap berkisah bahwa ketika berada di hadapan penguasa, Nitisemito yang saat itu telah menjadi orang sukses masih diharuskan duduk di lantai. Padahal Nitisemito, juga para pengusaha kretek lainnya, telah berperan sebagai werkgever atau pemberi pekerjaan kepada ribuan buruh. R. Bh. Sabarudin, ketua perkumpulan pabrik kretek di Kudus, akhirnya melakukan upaya pemecahan masalah dengan melakukan negosiasi agar para pengusaha kretek ini memperoleh kedudukan yang setara. Usaha Sabarudin hanya berhasil dalam ranah penguasa pribumi saja, sementara dalam ranah penguasa Belanda mereka masih diwajibkan duduk di lantai ketika akan menghadap.
Nitisemito memang hanyalah satu nama di antara sekian banyak pengusaha kretek yang turut menggoreskan narasi perjalanan industri kretek di Indonesia. Ada banyak daftar nama pengusaha kretek selain Nitisemito yang dikisahkan sukses merintis pabriknya mulai dari dasar hingga menjadi maju pada masa kolonial, seperti dikutip dari Parada Harahap, di antaranya M. Sirin (kretek cap Garbis & Manggis), H.M. Muslich (kretek cap Teboe dan Jagung), M. Atmowidjodjo (kretek cap Goenoeng), dan H.Md. Noorchamid (kretek Nojorono).
Dilansir dari tulisan yang disusun cucunya, Alex Soemadji Nitisemito, Nitisemito lahir sekitar tahun 1874 dengan nama kecil 'Rusdi', anak seorang lurah desa Jagalan di kota Kudus bernama H. Sulaiman. Tidak seperti jabatan lurah di desa lainnya, H. Sulaiman tidak mendapat pinjaman tanah bengkok dari pemerintah kolonial sehingga dapat dikatakan bahwa taraf perekonomiannya tidak semakmur para priyayi yang hidup di kota-kota besar.
Semula H. Sulaiman ingin mewariskan jabatannya ini kepada Nitisemito. Maka diajarinya Nitisemito membaca dan menulis, dua hal yang tidak dikuasai Nitisemito karena tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Nitisemito memang sempat menjadi carik desa di usia duapuluh tahun, namun karir ini terasa tidak cocok untuk dirinya.
Nitisemito lebih menaruh minat pada dunia wirausaha. Beberapa wirausaha yang pernah ditekuninya antara lain, membuka usaha jahit, memproduksi dan menjual minyak kelapa, membuka usaha jual-beli kerbau, membuka persewaan dokar, hingga yang hampir cocok adalah membuka usaha jual-beli tembakau.
Bersama istrinya, Nasilah, Nitisemito mencoba meracik rokok kretek sendiri dan menjualnya secara kecil-kecilan di warung. Awalnya tanpa ada pembungkus dan merek etiket sebagai penanda. Hingga suatu hari diciptakanlah merek dagang untuk kretek produksi Nitisemito seiring dengan banyaknya peminat kretek dan terbukanya peluang bagi Nitisemito untuk melebarkan sayap karirnya.
Merek 'Kodok Mangan Ulo' sempat menjadi merek dagang yang dipilih Nitisemito dan menimbulkan tawa serta ejekan dari para pelanggannya. Gambar bulatan tiga akhirnya dipilih Nitisemito sebagai logo kemasan tanpa ada keterangan nama merek sehingga ada banyak nama yang diberikan masyarakat, seperti Bunder Tiga, Bola Tiga, Roda Tiga, dan terakhir yang paling dikenal adalah nama Bal Tiga.
Pendirian Nitisemito untuk menjadi seorang wirausaha sangatlah kuat. Alih-alih mengambil posisi aman dengan mengandalkan jabatan struktural yang diwarisi dari ayahnya itu, Nitisemito lebih memilih menjadi seorang wirausaha yang mandiri. Sikapnya ini tentu saja melahirkan pertentangan dari dalam keluarganya, terutama dari ayahnya. Namun begitu Nitisemito mampu membuktikan bahwa pribumi yang mengambil jalur swasta juga mampu menggapai kesejahteraan yang layak. Lebih dari itu, mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Seperti dikutip dari buku Margana et al., sikap keuletan dan kerja keras Nitisemito ini menjadi modal untuk menembus dominasi asing di bawah rezim kapitalistik kolonial. Kemunculan sosok Nitisemito dapat menjadi penanda adanya nasionalisme dalam jalur perekonomian pribumi.
Tidak seperti elite pribumi yang muncul dari buah hasil Politik Etis, para pengusaha kretek justru meraih keberhasilannya dengan tantangan yang lebih kompleks, terlebih mereka pada umumnya bukan keturunan bangsawan dan tidak pernah duduk di bangku pendidikan modern.
Kretek sebagai Simbol Identitas
Menurut Hanusz (2000), pada mulanya kretek diproduksi tanpa ada ideologi apa pun yang mengikutinya, hingga ia mampu tampil sebagai simbol budaya bangsa Indonesia yang mempersatukan unsur yang ada.
Kretek merupakan jenis rokok yang berbeda dengan rokok putih. Kandungan komposisi yang ada di dalam dua jenis rokok ini menjadi indikasi pembeda bahwa rokok putih hanya mengandung tembakau sementara di dalam kretek terdapat campuran cengkeh, perisa, dan rempah-rempah lainnya.
Pembungkusnya pun dijadikan indikasi pembeda. Pada masa itu, pembungkus kertas (papier) merepresentasikan modernitas. Karena warna kertasnya yang putih serta konsumennya berasal dari golongan kulit putih, hal tersebut menjadi alasan dibalik penyebutan 'rokok putih'. Sementara di kalangan pribumi, pembungkus dari kulit jagung (klobot) lebih populer ketimbang pembungkus dari kertas.
Mitchell melalui tulisannya berjudul "Kapur Sirih, Tembakau, dan Kretek: Tinjauan Sistem Pemaknaan" (2014) berpendapat bahwa kretek muncul sebagai representasi modernitas alternatif. Kretek juga disebut sebagai benda budaya hibrid karena tindakannya melibatkan pencampuran simbol budaya dan bahan-bahan dari tanaman asli dengan komoditas yang diperkenalkan kaum kolonial.
Simbol identitas ini pun dapat ditelusuri melalui iklan dan pemasaran yang dilakukan Nitisemito sebagai pengusaha kretek. Kretek diproduksi oleh pribumi dan dikonsumsi untuk pribumi sendiri. Maka representasi iklan atau promosi kretek yang lazim ditemui adalah adanya berbagai paduan unsur kerakyatan, misalnya keterlibatan Bal Tiga di dalam sandiwara keliling sebagai strategi promosinya. Pada saat itu, sandiwara keliling merupakan hiburan yang digemari pribumi. Oleh karena bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Melayu, sandiwara keliling terasa lebih dekat dengan kehidupan pribumi ketimbang teater modern ataupun film Barat.
Bal Tiga juga melakukan promosi pada saat ada acara-acara rakyat, seperti Pekan Raya, Pasar Malam, Sekatenan, dan sebagainya. Dalam acara-acara tersebut, Bal Tiga membuka stan rokok serta mengadakan undian dengan berbagai hadiah yang menarik pengunjung. Puncak hadiahnya adalah sebuah mobil sedan baru, seperti dilansir dalam tulisan Alex Soemadji Nitisemito (1980: 41).
Kretek cap Bal Tiga menemui ujung usianya sejak pecahnya Perang Dunia II yang mendorong kedatangan Jepang ke Hindia Belanda. Dikutip dari keterangan Alex Soemadji Nitisemito (1980: 107), hampir seluruh kekayaan Bal Tiga dirampas oleh tentara Jepang. Produksi Bal Tiga mulai menurun karena tidak mampu menanggulangi kerugian. Akhirnya pabrik ini benar-benar tutup usia di masa pascakemerdekaan.
Rujukan:
- Abhisam DM, Hasriadi Ary, dan Miranda Harlan. 2011. Membunuh Indonesia; Konspirasi Global Penghancuran Kretek. Jakarta: Penebit Kata-kata.
- Budiman, Amen dan Onghokham. 2016. Hikayat Kretek. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Hanusz, Mark. 2000. Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarretes. Jakarta: Equinox Publishing.
- Margana, S., Baha'uddin, H. Priyatmoko, G. Yuristiadhi, U. Nugroho W., W. Kamiso, W. Fitrianingsih, dan W.S. Utama. 2014. Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya. Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM dan Puskindo.
- Mitchell, Melissa C.. 2014. "Kapur Sirih, Tembakau, dan Kretek: Tinjauan Sistem Pemaknaan". Diterjemahkan oleh Hasriadi. Wacana, No. 34, Tahun XVI, Hal. 39-71.
- Nitisemito, Alex Soemadji. 1980. Raja Kretek Nitisemito. Kudus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H