Seperti dikutip dari buku Margana et al., sikap keuletan dan kerja keras Nitisemito ini menjadi modal untuk menembus dominasi asing di bawah rezim kapitalistik kolonial. Kemunculan sosok Nitisemito dapat menjadi penanda adanya nasionalisme dalam jalur perekonomian pribumi.
Tidak seperti elite pribumi yang muncul dari buah hasil Politik Etis, para pengusaha kretek justru meraih keberhasilannya dengan tantangan yang lebih kompleks, terlebih mereka pada umumnya bukan keturunan bangsawan dan tidak pernah duduk di bangku pendidikan modern.
Kretek sebagai Simbol Identitas
Menurut Hanusz (2000), pada mulanya kretek diproduksi tanpa ada ideologi apa pun yang mengikutinya, hingga ia mampu tampil sebagai simbol budaya bangsa Indonesia yang mempersatukan unsur yang ada.
Kretek merupakan jenis rokok yang berbeda dengan rokok putih. Kandungan komposisi yang ada di dalam dua jenis rokok ini menjadi indikasi pembeda bahwa rokok putih hanya mengandung tembakau sementara di dalam kretek terdapat campuran cengkeh, perisa, dan rempah-rempah lainnya.
Pembungkusnya pun dijadikan indikasi pembeda. Pada masa itu, pembungkus kertas (papier) merepresentasikan modernitas. Karena warna kertasnya yang putih serta konsumennya berasal dari golongan kulit putih, hal tersebut menjadi alasan dibalik penyebutan 'rokok putih'. Sementara di kalangan pribumi, pembungkus dari kulit jagung (klobot) lebih populer ketimbang pembungkus dari kertas.
Mitchell melalui tulisannya berjudul "Kapur Sirih, Tembakau, dan Kretek: Tinjauan Sistem Pemaknaan" (2014) berpendapat bahwa kretek muncul sebagai representasi modernitas alternatif. Kretek juga disebut sebagai benda budaya hibrid karena tindakannya melibatkan pencampuran simbol budaya dan bahan-bahan dari tanaman asli dengan komoditas yang diperkenalkan kaum kolonial.
Simbol identitas ini pun dapat ditelusuri melalui iklan dan pemasaran yang dilakukan Nitisemito sebagai pengusaha kretek. Kretek diproduksi oleh pribumi dan dikonsumsi untuk pribumi sendiri. Maka representasi iklan atau promosi kretek yang lazim ditemui adalah adanya berbagai paduan unsur kerakyatan, misalnya keterlibatan Bal Tiga di dalam sandiwara keliling sebagai strategi promosinya. Pada saat itu, sandiwara keliling merupakan hiburan yang digemari pribumi. Oleh karena bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Melayu, sandiwara keliling terasa lebih dekat dengan kehidupan pribumi ketimbang teater modern ataupun film Barat.
Bal Tiga juga melakukan promosi pada saat ada acara-acara rakyat, seperti Pekan Raya, Pasar Malam, Sekatenan, dan sebagainya. Dalam acara-acara tersebut, Bal Tiga membuka stan rokok serta mengadakan undian dengan berbagai hadiah yang menarik pengunjung. Puncak hadiahnya adalah sebuah mobil sedan baru, seperti dilansir dalam tulisan Alex Soemadji Nitisemito (1980: 41).
Kretek cap Bal Tiga menemui ujung usianya sejak pecahnya Perang Dunia II yang mendorong kedatangan Jepang ke Hindia Belanda. Dikutip dari keterangan Alex Soemadji Nitisemito (1980: 107), hampir seluruh kekayaan Bal Tiga dirampas oleh tentara Jepang. Produksi Bal Tiga mulai menurun karena tidak mampu menanggulangi kerugian. Akhirnya pabrik ini benar-benar tutup usia di masa pascakemerdekaan.