Citra Etos Kerja Keras yang Kuat
Dalam narasi sejarah kretek, penyajian kisah keuletan seorang pengusaha kretek menjadi suatu hal yang sering mendapat sorotan. Rujukan paling umum untuk menerangkan situasi ini adalah dalam tulisan Parada Harahap, seorang wartawan di Hindia Belanda, yang menulis buku berjudul Indonesia Sekarang (1952). Parada Harahap melakukan sejumlah penelusuran terhadap para pengusaha kretek di Kudus masa kolonial. Menurutnya, para pengusaha kretek disebut sebagai orang yang zelfmademan atau orang yang mampu memajukan dirinya sendiri tanpa melalui privilese tertentu.
Melalui bukunya tersebut, Parada Harahap berkisah bahwa ketika berada di hadapan penguasa, Nitisemito yang saat itu telah menjadi orang sukses masih diharuskan duduk di lantai. Padahal Nitisemito, juga para pengusaha kretek lainnya, telah berperan sebagai werkgever atau pemberi pekerjaan kepada ribuan buruh. R. Bh. Sabarudin, ketua perkumpulan pabrik kretek di Kudus, akhirnya melakukan upaya pemecahan masalah dengan melakukan negosiasi agar para pengusaha kretek ini memperoleh kedudukan yang setara. Usaha Sabarudin hanya berhasil dalam ranah penguasa pribumi saja, sementara dalam ranah penguasa Belanda mereka masih diwajibkan duduk di lantai ketika akan menghadap.
Nitisemito memang hanyalah satu nama di antara sekian banyak pengusaha kretek yang turut menggoreskan narasi perjalanan industri kretek di Indonesia. Ada banyak daftar nama pengusaha kretek selain Nitisemito yang dikisahkan sukses merintis pabriknya mulai dari dasar hingga menjadi maju pada masa kolonial, seperti dikutip dari Parada Harahap, di antaranya M. Sirin (kretek cap Garbis & Manggis), H.M. Muslich (kretek cap Teboe dan Jagung), M. Atmowidjodjo (kretek cap Goenoeng), dan H.Md. Noorchamid (kretek Nojorono).
Dilansir dari tulisan yang disusun cucunya, Alex Soemadji Nitisemito, Nitisemito lahir sekitar tahun 1874 dengan nama kecil 'Rusdi', anak seorang lurah desa Jagalan di kota Kudus bernama H. Sulaiman. Tidak seperti jabatan lurah di desa lainnya, H. Sulaiman tidak mendapat pinjaman tanah bengkok dari pemerintah kolonial sehingga dapat dikatakan bahwa taraf perekonomiannya tidak semakmur para priyayi yang hidup di kota-kota besar.
Semula H. Sulaiman ingin mewariskan jabatannya ini kepada Nitisemito. Maka diajarinya Nitisemito membaca dan menulis, dua hal yang tidak dikuasai Nitisemito karena tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Nitisemito memang sempat menjadi carik desa di usia duapuluh tahun, namun karir ini terasa tidak cocok untuk dirinya.
Nitisemito lebih menaruh minat pada dunia wirausaha. Beberapa wirausaha yang pernah ditekuninya antara lain, membuka usaha jahit, memproduksi dan menjual minyak kelapa, membuka usaha jual-beli kerbau, membuka persewaan dokar, hingga yang hampir cocok adalah membuka usaha jual-beli tembakau.
Bersama istrinya, Nasilah, Nitisemito mencoba meracik rokok kretek sendiri dan menjualnya secara kecil-kecilan di warung. Awalnya tanpa ada pembungkus dan merek etiket sebagai penanda. Hingga suatu hari diciptakanlah merek dagang untuk kretek produksi Nitisemito seiring dengan banyaknya peminat kretek dan terbukanya peluang bagi Nitisemito untuk melebarkan sayap karirnya.
Merek 'Kodok Mangan Ulo' sempat menjadi merek dagang yang dipilih Nitisemito dan menimbulkan tawa serta ejekan dari para pelanggannya. Gambar bulatan tiga akhirnya dipilih Nitisemito sebagai logo kemasan tanpa ada keterangan nama merek sehingga ada banyak nama yang diberikan masyarakat, seperti Bunder Tiga, Bola Tiga, Roda Tiga, dan terakhir yang paling dikenal adalah nama Bal Tiga.
Pendirian Nitisemito untuk menjadi seorang wirausaha sangatlah kuat. Alih-alih mengambil posisi aman dengan mengandalkan jabatan struktural yang diwarisi dari ayahnya itu, Nitisemito lebih memilih menjadi seorang wirausaha yang mandiri. Sikapnya ini tentu saja melahirkan pertentangan dari dalam keluarganya, terutama dari ayahnya. Namun begitu Nitisemito mampu membuktikan bahwa pribumi yang mengambil jalur swasta juga mampu menggapai kesejahteraan yang layak. Lebih dari itu, mampu berdiri di atas kaki sendiri.