Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Forbidden Games", Memaknai Ironi Kematian Lewat Perspektif Anak-anak

25 Februari 2019   02:48 Diperbarui: 25 Februari 2019   06:05 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimanapun, perang adalah bentuk kejahatan yang paling fatal terhadap kemanusiaan. Kerusakan yang diakibatkannya bukanlah sebatas materi, lebih dari itu, jiwa setiap manusia jadi taruhannya. Perang menyisakan kisah kelam dalam sejarah peradaban manusia, menyisakan debu tebal pada wajah kemanusiaan kita.

Banyak sekali usaha untuk memvisualkan kembali peristiwa perang, alih-alih sebagai dokumen "pengingat". Di dalam film, kita hampir selalu percaya bahwa substansi yang paling niscaya dalam pendokumentasian ini adalah dipertunjukannya adegan-adegan kematian yang sadis. Dengan begitu, kita----yang tak pernah mengalaminya secara langsung----memperoleh imaji ketakutan perang yang sebenarnya.

Tetapi sebagian film perang justru ingin keluar dari batas framing itu; film perang tak selamanya identik dengan kesadisan yang telanjang. Film-film seperti ini ingin menyentuh lebih jauh pada realita kemanusiaan. Dan film Forbidden Games (Jeux Interdits, 1952) adalah contoh yang terbaik menurut saya.

Tangkapan Layar Film
Tangkapan Layar Film
Menurut William Baer, pada awal kemunculannya di Prancis tahun 1952, Forbidden Games tidak serta-merta memperoleh apresiasi dari masyarakatnya. Hal ini mungkin dikarenakan tragedi perang yang belum lama berakhir sehingga masih menyisakan perasaan traumatis. Sebagian yang lain, merasa tersinggung karena penggambaran keluarga petani memiliki kesan terlalu direndahkan. Beberapa umat Katolik merasa adanya unsur penghujatan. Sisa yang lain, merasa tidak nyaman dengan penggambaran sisi gelap masa anak-anak.

Namun terlepas dari pro-kontra tersebut, film ini sukes di luar Prancis dan diganjar penghargaan apresiasi, seperti Best Foreign Language Film (Academy Awards and New York Film Critics Circle Awards, 1952), Golden Lion (Venice Film Festival, 1952), dan beberapa penghargaan bergengsi lainnya (rialtopictures.com)

André Bazin dalam esainya mengungkapkan bahwa film Forbidden Games bertolak dari sebuah novel yang ditulis François Boyer berjudul The Secret Game (1947). Pada awal yang sangat mula, Boyer hendak menulis skenario tetapi sang produser lebih menyarankan untuk diterbitkan sebagai novel. Di Prancis, novel Boyer tak mendapat apresiasi, tetapi meledak di pasaran Amerika. Baru setelah itu René Clément, sebagai sutradara, tertarik untuk memfilmkannya, dibantu oleh Jean Aurenche dan Pierre Bost untuk menyusun naskah skenario Forbidden Games.

Forbidden Games mengambil sudut pandang anak-anak yang menjadi korban keganasan Perang Dunia II. Memang, Forbidden Games bukanlah satu-satunya film PD II berperspektif anak, lainnya kita bisa menyebut Bicycle Thieves (1948); Germany, Year Zero (1948); Ivan's Childhood (1962); Come and See (1979); The Tin Drum (1979); Au Revoir les Enfans (1987); Europa Europa (1990); hingga yang paling familiar adalah Life is Beautiful (1997) dan The Boy in The Striped Pajamas (2008). Mungkin pula masih banyak yang luput dari daftar ini.

Karakter yang ditampilkan dalam Forbidden Games adalah anak perempuan berusia lima tahun, Paulette (Brigitte Fossey), dan anak laki-laki berusia sepuluh tahun, Michel Dolle (Georges Poujouly). Seperti unsur kata dalam judulnya, "games", film ini pada dasarnya menggarisbawahi hakikat kepolosan dari dunia anak-anak; sebuah dunia di mana hanya ada kata "bermain" dan "bermain". Bermain untuk memperoleh perasaan bahagia. Tetapi, bagaimana mungkin suatu permainan bisa mereka langsungkan sementara dunia yang mereka pijaki penuh dengan tragedi kematian? Titik ini menjadi kontadiktif yang pada akhirnya menghasilkan nuansa komedi-kelam.

Motif seperti ini bisa kita temui misalnya pada Life is Beautiful, seorang ayah yang berusaha meyakinkan anaknya, kira-kira berusia lima tahun, bahwa situasi perang yang dialaminya hanyalah suatu permainan belaka yang diciptakan untuk memenangkan sebuah hadiah. Namun jika dibandingkan, saya lebih menyukai narasi dalam Forbidden Games. Alasannya, permainan dalam Forbidden Games dijalankan secara sadar oleh para tokohnya.

Paulette sadar betul bahwa ia berada dalam situasi perang, meskipun tak paham "mengapanya"; kedua orang tua dan anjing kesayangannya, Jock, terbunuh akibat peluru yang diterjunkan Luftwaffe dan ia menyaksikan sendiri kematian itu. Efek dari peristiwa itu, Paulette benci dengan suara ledakan bom dan tidak suka dengan perbuatan Michel yang membunuh hewan, meskipun hewan itu hanyalah serangga.

Paulette juga sadar bahwa ia tidak bisa melakukan penguburan yang layak pada jenazah kedua orang tuanya. Ketika Jock dilempar ke sungai begitu saja oleh seorang perempuan yang mencoba menyelamatkannya, Paulette malah nekat mengejar mayat Jock hingga membawa dirinya ke pedesaan yang tak terjamah bom perang, sebuah tempat di mana ia bertemu dengan Michel. Insting untuk menyelamatkan Jock itu memperlihatkan perasaan kasih yang mendalam; ia tahu tidak punya siapa-siapa lagi dan hanya Jock yang bisa ia bopong. Dan setelah pertemuannya dengan Michel itu, ia berencana untuk menguburkan Jock dengan layak. Di sinilah permainan "berbahaya" itu dimulai.

Paulette adalah gadis kecil yang berasal dari kota Paris dan tidak mengenal konsep keagamaan. Michel-lah yang memperkenalkan konsep keagamaan pada Paulette, meski hanya mengajarkan doa-doa sederhana dan berbagi sedikit pengetahuan soal "kelayakan" suatu kuburan. Ketika Paulette menggali lubang untuk membuat kuburan Jock, Michel datang membantu dan menyarankan untuk membangun pemakaman kecil.

Tangkapan Layar Film
Tangkapan Layar Film

Michel    : "We'll make a little cemetery."
Paulette : "What's a cemetery?"
Michel    : "It's where they put the dead to be together."
Paulette : "Why do they put them together?"
Michel    : "So they're not sad."
Paulette : "But my dog will be all alone. I'll find him another one."

Bahkan Paulette tidak mengenal konsep pemakaman (cemetery), ia hanya mengerti tentang lubang kuburan (grave). Ketika akhirnya ia tahu bahwa pemakaman itu dibuat agar yang mati tidak merasa sendirian, tumbuh suatu keinginan untuk membuat kuburan yang lainnya agar Jock tidak sendirian.

Ada sebuah adegan yang paling mengejutkan bagi saya, yaitu ketika mereka berdua menyebutkan hewan apa saja yang akan dikubur di pemakaman kecil ini agar Jock tidak sendirian. Mereka saling menimpali usul: kucing, landak, kadal, kuda, sapi, ular, singa, macan... Yang terakhir, Paulette berseru keras seperti dipenuhi hasrat juga disertai wajah yang menekan dan mata yang membelalak, "Manusia!", usulnya.

Michel tentu saja terkejut mendengar usulan itu, meski akhirnya tak menggubrisnya. Tetapi ruang jeda keterkejutan itu dan ekspresi Paulette yang penuh dengan tekanan serta tarikan nafas yang memburu, menciptakan detik-detik yang mengerikan bagi saya. Betapa tidak, ucapan Paulette merupakan bentuk dari tidak adanya penyangkalan duka kematian atas ayah dan ibunya. Kalu bisa, ya, kalau bisa, Paulette ingin menguburkan jenazah kedua orang tuanya dengan layak, sama seperti Jock. Ucapan Paulette jelas menunjukkan hasrat terdalamnya mengenai makna kematian manusia.

Selanjutnya, Michel menambahkan saran lagi. Michel membuat nisan berbentuk salib dari patahan kayu disekitarnya. That's the good Lord, ujar Paulette, mungkin ia teringat salib yang dilihatnya di dinding rumah Michel----ibu Michel-lah yang memberi penerangan pada Paulette bahwa tanda itu adalah tanda salib. Yes, jawab Michel. Paulette mengaku bahwa salib di dinding rumah Michel termasuk salib yang bagus. Paulette menginginkan salib-salib yang indah untuk menghiasi pemakaman kecil yang hendak mereka buat. Maka mulailah rencana mereka selanjutnya: mengumpulkan hewan mati dan tanda salib.

Awalnya Michel mencoba membuat sendiri tanda salib dari kayu, tetapi berbagai macam bentuk salib yang sudah jadi, lebih menarik hatinya dan tentu saja menarik hati Paulette. Mulailah mereka terobsesi dengan salib-salib yang bentuknya bagus dan indah, mulai dari salib yang berdiri di atas kereta milik ayah Michel, salib yang menjulang di altar gereja, hingga salib yang ada di pemakaman sungguhan. Mereka mencurinya secara diam-diam, bahkan nekat pergi ke pemakaman pada malam hari demi mengumpulkan salib-salib.

Sumber: criterion.com
Sumber: criterion.com
Saya tak hendak mendekati simpulan yang moralis, simpulan seperti peristiwa pencurian salib yang mereka lakukan itu termasuk perbuatan dosa. Sebaliknya, tindakan pencurian yang mereka lakukan hanyalah kenakalan kecil dan kepolosan khas anak-anak. Saya katakan, tujuan mereka sangat mulia; membangun pemakaman yang "lebih dari layak" untuk para hewan.

Film ini jelas tak hendak mengambil moralitas yang sempit dan hitam-putih. Forbidden Games sangat menonjolkan simbol-simbol yang tak bisa kita bahasakan secara banal. Seperti yang dikemukakan William Baer dalam tulisannya, Forbidden Games merupakan film yang sederhana sekaligus film yang kompleks. Baer menyebut bahwa film ini bukan sekadar film tentang "kepolosan" anak-anak, bukan sekadar film "anti-perang", dan jelas bukan film "anti-Katolik".

Pemakaman yang mereka bangun merupakan representasi dari ketidakmampuannya untuk "memanusiakan manusia". Sudah disinggung tadi, kalau bisa, ya, kalau bisa, Paulette ingin menguburkan jenazah kedua orang tuanya dengan layak. Tapi, orang-orang yang tewas akibat perang hanya dikuburkan dalam satu lubang besar, semua jenazah bertumpuk untuk dijadikan satu kuburan saja. Itu pun masih untung. Tak jarang, jenazah-jenazah dibiarkan tergeletak dan membusuk di jalanan. Atau mungkin dibakar secara massal, atau dibuang ke sungai.

Dalam perang tak ada konsep pemakaman, yang ada hanyalah lubang-lubang besar tanpa nisan perseorangan di atasnya. Kematian korban perang nyatanya suatu ironi besar. Luka paling dalam dari kemanusiaan kita. Kelayakan pemakaman hewan yang diciptakan Paulette dan Michel seyogianya adalah satire dari matinya rasa kemanusiaan di dalam perang.

Di dalam perang, harga manusia bahkan lebih rendah dari hewan.

The Little Cemetery (Tangkapan Layar Film)
The Little Cemetery (Tangkapan Layar Film)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun