Mohon tunggu...
Rizka Yulianti
Rizka Yulianti Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Both sanguine and pleghmatic

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

UU Perkawinan Cenderung Mengintervensi Perempuan

6 Juni 2018   23:58 Diperbarui: 7 Juni 2018   06:15 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat dengan kasus pernikahan dini fenomenal yang melibatkan sosok seorang pimpinan Pondok Pesantren di Jawa Tengah bernama Syekh Puji dengan gadis berusia 12 tahun? Atau kasus yang menyeret Mantan Bupati Garut, Aceng Fikri yang menikahi remaja belia yang belum genap 18 tahun? Ya, kedua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari rentetan panjang kisah pernikahan di bawah umur yang terjadi di Indonesia. Hanya saja sebagian besar kasus serupa tidak terekspos media, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Pernikahan dini seolah menjadi hal yang dilumrahkan atas nama adat istiadat, ekonomi, dan berbagai faktor lainnya . Lalu bagaimanakah peran Undang-Undang dalam mengatur kasus tersebut?

Regulasi tentang perkawinan di Indonesia di atur dalam UU No. 1 Tahun 1974. UU tesebut memuat tentang materi dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan beserta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajban orangtua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan perkawinan, ketentuana peralihan , dan ketentuan penutup.

Namun, kali ini saya tidak akan membahas semua BAB yang termuat dalam UU tersebut. Salah satu fokus pembahasan kali ini adalah tentang hak-hak yang cenderung terintervensi oleh UU Perkawinan. Sebagai contoh, kasus pernikahan dini yang terjadi di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Seperti yang dilansir di beberapa media cetak dan elektronik, pernikahan tersebut melibatkan sepasang pelajar SMP berusia 15 dan 14 tahun yang di selengarakan secara sederhana di kediaman nenek mempelai wanita, di Jalan Sungai Calendu, Bantaeng. Walaupun pernikahan tersebut, sempat mendapat pertentangan dari berbagai pihak. Namun, pihak keluarga tetap menghendaki terjadinya pernikahan tersebut dengan alasan kedua mempelai saling mencintai.

Dalam pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Berlanut di ayat (2) yang berbunyi untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Jika dikaitkan dengan beberapa kasus pernikahan dini yang terjadi, kedua ayat dalam pasal 6 tesebut secara tidak langsung mengintervensi hak mempelai yang kedudukannya sebagai anak. Tak jarang pernikahan dini berakar dari kehendak orangtua yang dipaksakan kepada anaknya. Apapun alasan sebelumnya, setidaknya dengan adanya dua ayat tersebut mendukung untuk memberikan tameng untuk orang tua menikahi anaknya di usia dini.

Selanjutnya, UU Perkawinan juga dinilai merugikan perempuan. Pasal 7 ayat 1  memuat tentang aturan usia minimal perenpuan untuk menikah adalah 16 tahun, sementara usia minimal laki-laki untuk menikah adalah 19 tahun. Ditambah lagi dengan lanjutan dalam ayat 2 yang menyebutkan bahwa adanya dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita dalam penyimpangan yang terjadi pada pasal sebelumnya. Artinya, perempuan dapat dinikahi dibawah usia 16 tahun dengan adanya persetujuan dari orang tua atau wali yang berhak. Hal ini sangat jelas merugikan perempuan dan mendorong kesempatan terjadinya pernikahan dini semakin tinggi.

Sebagai contoh, jika seorang perempuan dinikahi di usia 14 tahun, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mnenyelesaikan pendidikan  taraf SMP. Dampkanya jika terjadi perceraianpun, ia akan susah berdiri di kaki sendiri untuk menghidupi kebutuhan dirinya bahkan anaknya. Meninggalkan pendidikan formal membuatnya ditinggalkan oleh kesempatan bekerja di sektor formal, dan tak sedikit dari mereka yang memilih menjadi wanita tuna susila. Dengan situasi tersebut, maka munculah  kasus-kasus lain dengan trigger sulitnya ekonomi.  Tentunya hal ini berdampak pula bagi meingkatnya tingkat kemiskinan bagi suatu negara.

Bila ditijau dari segi kesehatan, wanita di bawah 20 tahun memiliki resiko tinggi untuk penyakit dan kematian ketika menjalankan fungsi reproduksi. kehamilan pada usia muda dapat memiliki beberapa dampak yang kurang baik dan juga cenderung berbahaya, baik bagi ibu dan juga janin, diantaranya; munculnya hipertensi, menyebabkan kecacatan fisik pada bayi, meningkatkan terkena resiko kanker serviks, memungkinkan bayi lahir secara prematur, dan memiliki resiko keguguran yang tingggi.

Dari segi fisik dan jiwa, pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Hal ini yang mendorong timbulnya masalah baru, seperti; pengangguran, kelaparan, dan lain-lain. Disatu sisi, pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya. Tak jarang hal-hal tersebut menjadi faktor bagi penyebab terjadinya angka perceraian pada pasangan muda.

Dilanjutkan dengan adanya pasal 33 ayat 3 yang berbunyi suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga dalam BAB hak dan kewajiban suami dan istri. Dilansir dalam idtesis.com,  pengertian Kepala Keluarga adalah seorang dari sekelompok anggota keluarga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari, atau orang yang dianggap / ditunjuk sebagai Kepala Keluarga, Semenara menurut KBBI pengertian Ibu Rumah Tangga adalah perempuan yang mengurus seluruh keperluan rumah tangga, seorang istri yang pekerjaan utamanya adalah mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga dan tidak bekerja di kantor. Hal ini cenderung menibulkan tafsir deskriminasi pada perempuan. Apakah mereka yang memilih menjadi wanita karir , sepenuhnya meninggalkan kewajiban mereka sebagai seorang ibu rumah tangga? Haruskah seorang istri mengikuti regulasi sesuai ketetapan UU Perkawinan tersebut? Bagaimana dengan perempuan kuat yang menjadi tulang punggung keluarga karena suami mereka sakit atau faktor lain yang membuat suami mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga? Saya rasa untuk pasal ini tak perlu saya jelaskan panjang lebar. Karena untuk hal ini setiap orang memiliki pandangan yang berbeda dan pengalaman yang bereda.

Sumber :

Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono.1983. Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja?. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

https://dosenpsikologi.com/dampak-pernikahan-dini

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm

http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-ibu-rumah-tangga/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun