3. Tertata secara baik tempat ibadah umat beragama demi terciptanya kenyamanan pelaksanaan ibadah masing-masing pemeluk agama.
4. Terbangunnya rasa tanggung jawab bersama, baik oleh masyarakat maupun pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Studi tentang toleransi di Aceh terbaru dilakukan oleh Setara Institute melalui survey untuk menemukan kota paling toleran se Indonesia. Survei dilakukan terhadap 94 kota dengan temuan 10 kota mendapat penilaian paling toleran 2018. Kajian ini membuat definisi operasional konsep toleransi dalam beberapa variabel. Pertama, kebijakan-kebijakan pemerintah kota. Kedua, tindakan-tindakan aparatur pemerintah kota. Ketiga, perilaku antar entitas di kota, baik warga dengan warga, pemerintah dengan warga, dan relasi-relasi dalam heterogenitas demografis warga kota. Banda Aceh sebagai salah satu kota di Provinsi Aceh menjadi kota intoleran nomor dua dengan berada di urutan 9 dari 10 kota lainnya (Fadlia, 2018). Studi lain dari Kementrian Agama juga menempatkan Aceh di posisi buncit dengan skor 60,2, jauh dari indeks rata-rata toleransi Indonesia sebesar 73,83 (Amindoni, 2019).
Padahal Aceh sudah menerapkan peraturan tentang pedoman kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah pasca konflik Singkil, di mana terjadi penyerbuan dan pembakaran gereja yang memakan korban jiwa 4 orang. Semula pendirian tempat ibadah diatur melalui Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian tempat Ibadah Nanggroe Aceh Darussalam, Pergub ini dikeluarkan untuk merespon konflik antar umat beragama di Aceh Singkil terkait dengan pembakaran Gereja. Kemudian Pergub ini berubah menjadi Qanun Nomor 4 tahun 2016 tadi tentang pedoman pemeliharaan umat beragama dan pendirian tempat ibadah dan berlaku di Aceh. Adapun posisi Qanun tersebut menggantikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB 2 Menteri Nomor 8/9 Tahun 2006) yang berlaku di seluruh Indonesia (Faradilla Fadlia, 2018).
Artinya, Qanun Nomor 4 Tahun 2016 dibuat agar tidak terjadi lagi konflik antar umat beragama di Aceh dan tercipta toleransi. Meski begitu, Qanun tersebut memiliki paradoks yang cukup memunculkan polemik. Disisi lain ia mengatur pedoman pemeliharaan umat beragama yang isinya sangat toleran, namun pada aturan tentang pendirian tempat ibadah justru terdapat diskriminasi. Qanun No 4 Tahun 2016 menuliskan bahwa pendirian tempat ibadah untuk memenuhi syarat memiliki setidaknya memperoleh persetujuan 140 jemaat dan dukungan masyarakat setempat, atau paling sedikit 110 orang yang bukan pengguna tempat ibadah. Jauh lebih ketat dibanding aturan Pemerintah Pusat yang hanya 90 pengguna tempat ibadah dan 60 penduduk setempat bukan pengguna tempat ibadah (Patricia, 2020). Ditambah harus keluar izin dari Imuem Mukim (kepala pemerintahan adat) yang biasanya merupakan ulama, Kepala Desa, dan Camat (Amindoni, 2019). Alhasil, pendirian tempat beribadah dibuat berliku sejak ada dalam aturan yang membuat minoritas masyarakat Aceh susah untuk mendirikan tempat ibadah.
Alhasil, banyak yang mendirikan gereja secara illegal. Tercatat ada 10 gereja illegal ini berakhir tragis dengan sembilan ditutup oleh Satpol PP dan 1 gereja dibakar. Warga Kristen di Aceh kemudian harus mendirikan tenda-tenda yang disulap menjadi naungan mereka ketika menjalankan kebaktian. Banyak di antaranya dibangun di tengah kebun sawit, demi menghindari kecaman umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di daerah itu. Catatan membuktikan bahwa Qanun no 4 tahun 2016 tidak memberi solusi, namun malah menambah masalah kerukunan umat, terutama tentang aturan pendirian tempat ibadah.
Analisis mengenai penyebab munculnya kegagalan dalam hal ini serta respon dari masyarakat yang timbul menjadi cukup beragam. Beberapa bentuk penyebab dan respon masyarakat terangkum sebagai berikut :
1. Â Â Peraturan yang paradoks, dimana memuat persyaratan yang pelik untuk pendirian rumah ibadah dan tidak sesuai dengan nilai toleransi yang akan dibawa kedepannya.
2. Â Â Pemerintah daerah kurang melakukan sounding mengenai peraturan tersebut sehingga masih menyisakan ketidaktahuan dalam masyarakat tentang aturan yang berlaku.
3. Â Â Aceh sebagai daerah istimewa yang memiliki otonomi khusus tidak membuat pemerintah Aceh tidak tepat sasaran dalam membuat peraturan yang seharusnya lebih bisa mengayomi penduduk beragama minoritas dan justru menjadi diskriminatif.
4. Â Â Pemerintah lalai dalam menangani kasus-kasus intoleransi yang terjadi dengan tidak mengkaji peraturan lebih lanjut.