Mohon tunggu...
Rozza
Rozza Mohon Tunggu... -

lagi menyendiri, mencari harmony..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dalam Diamku....

9 Juni 2010   05:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Dew, ada temanmu di depan", terdengar suara dari balik pintu.

"Siapa May?", pintu terbuka sedikit.

"Sorry, lupa tanya namanya"

"Kau bilang bahwa aku ada?"

"Aku bilang, mau ku lihat dulu. Karena aku baru datang dan nggak tahu kau ada atau tidak"

"May, bantuin dong"

"Apa?"

"Aku lagi males ketemu dengan siapapun. Tolong temui tamuku. Katakan saja aku sedang tidak enak badan. Tolong ya May... Please...", Dewi memohon.

Maya menatap sahabatnya. Ada getir di sana, meski di balut dalam senyuman. Tak sampai hati menolak permintaan sahabatnya, Maya beranjak menemui tamu Dewi.

Sesaat kemudian,......

"Dew, mau ku temani?", suara Maya dari balik pintu

"Masuklah May..",Dewi sedang menata lemari pakaiannya

"Siapa yang nyari aku, May.."

"Dia nggak mau bilang namanya, tapi dia titipkan ini padamu", Maya memberikan sebuah kotak kecil.

Dewi menatapnya sesaat. Menerima dari tangan Maya. Memasukkan begitu saja ke dalam laci meja.

"Nggak di buka dulu, May?"

"Aku tahu apa isinya", Dewi tersenyum getir.

Maya mengangguk-angguk. Entah mengerti atau berusaha untuk mengerti. Tak ada pembicaraan. Sepi.

"Okay, aku ke kamar ya. Jika kamu perlu aku, ketuk pintu saja", Maya melangkah keluar kamar.

Dewi mengangguk.

Dewi menarik napas. Menjatuhkan diri duduk di kursi meja rias. Menerawang. Sorry, May. Aku tak sanggup menceritakan ini padamu, desah Dewi,pada dirinya sendiri. Di raihnya laptop, dan menulis :

Aku hanya ingin sendiri.

Merenungi kembali langkah yang ku ambil. Hatiku berkecamuk. Menyadari bahwa ini adalah kekeliruan di satu sisi. Namun di sisi lain, tak bisa memungkiri hati. Aku tak meminta apa-apa, selain sebuah kejujuran rasa. Bahwa rasa itu salah, itu yang harus di sadari. Namun rupanya dirimu terlalu tinggi hati untuk sebuah kejujuran. Selalu membelokkan kalimat untuk menghindar atau untuk sebuah pertahanan diri. Lalu dengan tanpa rasa bersalah, mengacak-acak perasaanku kembali. Dan aku mulai jengah dengan sikapmu. Aku lelah. Karenanya, aku diam. Menunggu sampai kau berikan sebuah jawaban atas kejujuran rasa.

*matahariku, terimakasih telah memberiku inspirasi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun