“Kamu merokok lagi, Len…?”, Ivan memperhatikan kepulan asap rokok yang di hembuskan Alena.
“Hanya kadang-kadang. Kalau sedang ingin saja”, Alena tersenyum
“Untuk mengusir kegugupanmu..? Mengusir kecemasanmu..?”, mata Ivan tak beralih dari wajah Alena.
Alena hanya tersenyum. Menarik napas perlahan dan menyandarkan punggungnya pada kursi.
“Kau tidak berubah, Alena. Masih sama seperti dulu”, Ivan terus mengamati Alena.
Yang di tatap, tetap tak bergeming. Hanya memberikan senyuman tipis. Sekilas.
“Kau mengejutkanku dengan datang tiba-tiba di kota ini. Tanpa memberitahukan sebelumnya”, Ivan terkesan memprotes .
“Apa aku punya alasan untuk lapor padamu bahwa aku akan ke sini..? Ku kira kau bukanlah sang Gubernur sehingga aku harus ijin untuk mendaratkan kakiku kembali ke kota ini, Van…. Hehehehehe”, Alena berkilah dengan candanya.
Tak urung Ivan tertawa. Gadis ini tetap renyah. Itu yang membuat Ivan tak bisa melupakannya.
“Benar kan..? Kau tak berubah. Masih renyah. Seperti yang pernah ku katakan saat pertama mengenalmu”
“Van, aku ke sini tidak untuk memulai yang telah kita akhiri”.
“Jadi untuk apa kedatanganmu ke kota ini?”.
“Hanya mengikuti kata hati. Mengikuti langkah kemana akan terarah. Hanya untuk menghabiskan long weekend saja. Tak lebih”.
“Indonesia itu luas, Len. Kenapa tujuanmu ke sini. Kau merindukanku lagi..? hehehehehe…”, Ivan menggoda.
“Jiiaahh !!! Apa ya sepenting itu dirimu…? Hahahahahaha….”, Alena menimpali.
Suasana mulai mencair, tidak sekaku di awalnya.
“Well, Alena, ceritakan kehidupanmu sekarang”.
“Kehidupan apa..? Bukannya kau selalu mengikuti sepak terjangku..? Kalau tidak, bagaimana kau tahu aku ada di sini..? Engkau kan salah satu secret admirerku, Van.. hahahahaha..”
“Hahahaha… aku memang sedikit tahu tentang perjalananmu, tapi hanya lewat tulisan-tulisanmu saja. Sekarang,aku ingin mendengar langsung dari sumbernya”
“Apa yang ingin kau tahu..?”
“Apa saja yang memang boleh kau ceritakan padaku”
“Tak ada yang istimewa. Semua berjalan begitu-begitu saja. Landai”
“Alena, apakah kau pernah memikirkanku.?”, hugghh.. dada Alena seperti tersentak oleh pertanyaan Ivan yang tak di sangka-sangka.
Demi menutupi galau hatinya, Alena hanya tersenyum.
“Aku tebak, kau masih memikirkanku, bukan..?”, Ivan tersenyum.
“Pertanyaanmu tak memerlukan jawabanku. Kau boleh berasumsi apa saja, bukan..?” Alena tetap tersenyum.
“Bagaimana dengan keluargamu, Van? Anak-anak dan istrimu? Sehat semua?”
Ivan menarik napas panjang. Menghembuskan, sambil tetap menatap ALena.
“Ku kira anak-anak baik-baik saja bersama ibunya”.
“Aku senang mendengarnya. Salam untuk mereka ya Van. Salam untuk Nyonya”.
“Salam untuk anak-anak tentu bisa ku sampaikan. Tapi entah untuk Ibunya”.
“Oh, sowry, Van. Jika itu hanya akan membuat runyam, lebih baik tak kau sampaikan apapun”, Alena menyesal.
“Bukan itu alasannya. Alena, Ibunya anak-anak, bukan lagi Nyonya Ivan. Melainkan Nyonya Andi”, ada kelu di suara Ivan.
“Maksudnya..?”, Alena masih belum tahu kemana arah pembicaraan Ivan.
“Kau ingat dengan Andi? Yang di Surabaya? Kau pernah bertemu dengannya bukan..?”
“Oh, ya, aku masih ingat. Andi yang pernah kau titipi ticket untuk aku terbang ke sini di ulang tahunmu itu kan? Yang di kantor cabang Panglima Sudirman?”
“Ya. Andi menikahi mantan istriku”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H