Sampai saat sebelum tulisan ini saya buat, saya masih percaya bahwa teori kontrak sosial merupakan konstruksi pemikiran era renaissance dari J. J. Rosseau. Namun, saat menelusuri sejarah tentang filsafat, kembali membuka tumpukan pemikiran zaman pra sokrates, saya pun akhirnya tergelitik untuk mengkaji pemikiran seorang tokoh yang bernama Lykophron. Tidak banyak referensi yang dapat kita temukan terkait pemikirannya. Mungkin karena pemikiran Lykophron bukan termasuk yang dominan di masanya. Dia tidak menulis sebuah buku khusus tentang pandangan-pandangannya, namun beberapa pemikirannya diabadikan oleh beberapa filsuf setelahnya. Salah satunya adalah Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Retorika[1].
Lykophron hidup pada abad ke 4 SM[2], tidak diketahui kota asal usulnya. Yang terekam oleh sejarah hanyalah bahwa Lykophron merupakan murid di sekolah orator Georgias dan pernah tinggal di Athena. Namun dari keterangan ini, setidaknya kita dapat menebak pola dasar pemikiran Lykophron yang tentu saja mewarisi corak sang guru – Georgias. Seorang filsuf yang dikenal sebagai pionir pemikiran aliran sofisme yang menutup masa kejayaan Mahzab Miletos/Pra Sokrates yang didirikan oleh Thales, Anaximandros dan Anaximenes.
Georgias terkenal dengan gagasan nihilisme dan skeptisismenya. Walaupun banyak juga sumber referensi yang mengatakan bahwa pola berfikir Georgias hanya merupakan metode argumentasi Mahzab Elea, namun dari perspektif axiologis, tetap saja berujung pada relativisme yang merupakan ciri utama aliran sofisme. Dalam karyanya yang berjudul Or Not Being or On Nature (Tentang Yang Tidak Ada atau Tentang Alam)[3], Georgias mengajukan 3 (tiga) tesis utama yang menjadi dasar dari argumentasinya[4] yaitu :
1. Tidak ada sesuatupun ;
2. Jikalau sesuatu itu ada, maka sesuatu itu tidak dapat dikenal ;
3. Seandainya sesuatu itu ada dan dapat dikenal, sesuatu itu tidak dapat dikomunikasikan dengan orang lain[5].
3 (tiga) tesis utama inilah yang kemudian menyebabkan Georgias dikenal sebagai pelopor dasar nihilisme dan skeptisisme dalam sejarah dunia pemikiran manusia.
Adapun Lykophron yang disebut sebagai filsuf pertama yang berbicara tentang teori kontrak sosial, dikatakan demikian karena Lykophron mendefinisikan hukum sebagai sebagai sebuah kontrak antar individu yang menjamin terpenuhinya hak-hak secara mutual. Namun Lykophron menganggap bahwa hukum tidak dapat mendidik warga Negara menjadi adil dan bermoral[6].
Dari gagasan tersebut dapat kita lihat betapa kuatnya pengaruh nihilisme Georgias dalam pandangan Lykophron tentang hukum dan kontrak sosial. Apa yang dimaksud dengan kontrak sosial dan terpenuhinya hak-hak secara mutual oleh Lykophron merupakan gagasan yang diturunkan dari cara pandanganya tentang metafisika dan derajat manusia. Pandangan Lykophron yang skeptis terhadap metafisika[7] kemudian menyebabkan Lykophron beranggaapan bahwa semua manusia setara, terlepas dari bagaimana status pada pendahulu mereka, sehingga kasta sosial dipandangnya sebagai sebuah kepalsuan[8]. Oleh karena itu, Lykophron menganggap bahwa Keadilan merupakan sesuatu yang mustahil untuk tercapai dan dipahami sehingga hukum tidak bertugas untuk mencapai hal tersebut.
Warna pemikiran Lykophron ini sebenarnya bukanlah merupakan sebuah corak pemikiran yang asing dalam diskursus ilmu hukum dan keadilan. Kita masih dapat menemukan corak pemikiran Lykophron dalam tesis para teoritisi hukum seperti Hans Kelsen dan Jhon Rawls. Hans Kelsen dengan positivisme mutlaknya dan Jhon Rawls dengan keadilan fairness-nya tampak sangat terpengaruh dengan skeptisisme Lykophron. Lihat saja bagaimana Kelsen berupaya untuk membangun sebuah konstruksi hukum diatas fondasi nihilismenya tentang keadilan serta bagaimana Rawls yang mencoba untuk mengkonstruksikan sebuah kondisi origin tanpa kelas sosial sebagai syarat mutlak untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan keadilan dalam kacamata fairness, sesungguhnya berakar dari ide-ide sofisme Lykophron, serta Georgias sebagai kepala sekolahnya.
Lykophron dan Nihilisme dalam Teori Kontrak Sosial
Pendapat Lykophron ini kemudian membuat saya mencoba berfikir ulang mengkaji segala konsekuensi logis dari perspektifnya tentang Hukum, Keadilan, Kontrak Sosial dan Pemenuhan Hak-Hak Secara Mutual. Setidaknya bahwa skeptisisme dan nihilisme yang berujung pada relativisme ternyata tidak memberikan kontribusi apapun terhadap ide-ide dasar tentang keadilan. Hal mana kemudian menyebabkan lahirnya sebuah konteks masyarakat tanpa nilai, etika dan standarisasi kebenaran. Karena yang ada hanyalah upaya untuk merumuskan pola-pola konsensus dalam kerengka komunikasi interpersonal demi mencapai sebuah pemenuhan hak secara mutual.
Ini merupakan ciri utama konteks masyarakat era sofisme. Dimana segala sesuatu didasarkan pada konsensus yang terlepas dari standarisasi mutlak tentang apapun. Kita bisa melihat bagaimana Georgias yang harus meninggalkan filsafat dan menekuni retorika sebagai konsekuensi logis dari pemikiran nihilismenya. Begitupun dengan tafsir tentang apa yang dimaksud dengan pemenuhan hak-hak secara mutual oleh Lykophron. Dimana apabila dipandang dari perspektif nihilisme dan skeptisismenya terhadap aspek metafisika, maka apa yang dimaksud dengan pemenuhan hak-hak secara mutual dalam teori kontrak sosial seungguhnya tidak lebih dari bagaimana dua subjek yang berkontrak merasa terpuaskan atas konsensus yang dibuat bersama tanpa pernah dan harus mengerti apa yang dimaksud dengan “hak”. Karena terminology “hak” bukanlah terminology empiris sehingga membutuhkan pengkajian secara filosofis.
Skeptisisme Lykophron terhadap metafisika yang dititik ekstrim sampai pada pandangannya yang menghilangkan “adalah (-is)” dalam kalimat sebagai predikat berpengaruh sangat besar terhadap bagaimana dia memandang masyarakat. Dimana predikat-predikat sosial yang melekat pada manusia dianggap sebagai sebuah kepalsuan yang harus dihilangkan karena seungguhnya semua manusia pada dasarnya adalah setara. Pandangan ini sama dengan bagaimana asumsi dasar Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rosseau menyusun bangunan teorinya tentang kontrak sosial yang didasarkan pada kondisi kesamaan manusia secara kodrati.
Sekilas, pandangan ini tampaknya biasa-biasa saja dan tidak berpengaruh apapun. Malah pandangan ini nampak selaras dengan cara berfikir mayoritas teoritisi ilmu-ilmu sosial hari ini yang sepakat dengan keadilan non predikatif dalam masyarakat. Sayangnya, sofisme yang berujung pada relativisme yang menjadi akar dari perspektif Lykophron tetap saja akan menjadi sofisme yang tidak akan melahirkan apapun kecuali sikap skeptis. Begitupun dengan konsekuensi dari penerapan teori kontrak sosial, yang juga hanya berujung pada skeptisisme tentang konsep keadilan sosial. Hal mana dikarenakan sampai hari ini kita bahkan tidak pernah menemukan bentuknya yang paling nyata selain bahwa penerimaan terhadap sebuah konsensus didasarkan pada ketidakmampuan setiap orang untuk keluar dari wilayah otoritas.
Kondisi kodrati sebagai dasar dari teori kontrak sosial modern sebagaimana yang didengung-dengungkan oleh Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J. J. Rosseau setidaknya mengalami nasib yang sama dengan kodrat manusia dalam pandangan Lykophron. Konsep yang lahir dari nihilisme predikatif metafisika yang berujung pada penafian status dalam masyarakat ternyata belum bisa menjawab pertanyaan paling mendasar tentang masyarakat. Bahwa bukankah masyarakat dalam terminologinya yang paling praktis juga merupakan sebuah predikat? Ataukah pertanyaan bahwa apakah eksistensi masyarakat merupakan fitrah ataukah hasil dari konsensus? Lalu kalau merupakan sebuah konsensus, apakah konsensus pembentuk masyarakat tersebut juga dilahirkan dari sebuah konsensus dalam arti adanya konsensus sebelum konsensus? Bukankah konsensus juga pada dasarnya adalah sebuah predikat?
Sofisme akan tetap menjadi sofisme, walaupun telah bermetamorfosis dalam bentuknya yang paling modern. Tetap saja merupakan argumentasi yang dilahirkan dari intellectual culdesac, namun setidaknya membutuhkan pengkajian yang lebih filosofis untuk melacak konsep dasar epistemologinya. Begitupun dengan Teori Kontrak Sosial yang berakar dari sofisme Lykophron, yang apabila saat ini diposisikan sebagai hujjah utama demokrasi, maka keadilan seperti apa yang diharapkan bisa lahir? Ataukah kita harus skeptis untuk menerima fakta bahwa sebenarnya manusia tidak membutuhkan Negara dalam pengertiannya sebagai konsensus interpersonal? Atau masih ada harapan untuk menemukan rasionalisasi dari konsep keadilan sambil menerima kenyataan bahwa predikat tidak akan mungkin dihilangkan pada ranah sosial.
---------------------------------------------------------
[1] Aristotle. 2004. Rhetoric. W. Rhys Roberts, terj. Mineola, New York: Dover Publications.
[2] Edward Zeller. 1957. Outlines of the History of Greek Philosophy. New York: Meridian Books. Hal. 107.
[3] K. Bertens. 1990. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 72-73.
[4] Michael Gagarin. 2002. Antiphon the Athenian: Oratory, Law, and Justice in the Age of the Sophists. Austin: University of Texas Press. Hal. 17.
[5] Op Cit, Edward Zeller. Hal. 104-107.
[6] Op Cit. Edward Zeller.
[7] Ibid.
[8] Frederick Copleston. 1993. A History of Philosophy Volume I: Greece and Rome. New York: Doubleday. Hal. 94.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H