Mohon tunggu...
Ryu Kiseki
Ryu Kiseki Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja

Saya adalah seorang penulis yang senang menulis tentang gambaran kehidupan. Pemerhati politik dan menyukai hal-hal berbau psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Bintang yang Telah Redup

1 Agustus 2014   11:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:42 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14069045811465956792

[caption id="attachment_350528" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://goo.gl/JaQDeE"][/caption]

Saya pernah mengunjungi sebuah panti jompo, tempat di mana saya melihat banyak orangtua berkumpul. Banyak di antara mereka diam membisu dengan sorot mata tanpa harapan. Banyak dari mereka berada di sana bukan karena ingin berada di sana, namun karena sebagian besar tidak ingin menjadi beban anaknya, bahkan ironisnya, tidak diinginkan lagi oleh anak yang telah mereka besarkan dengan susah payah.

Namun, saya tidak akan membahas mereka satu persatu, karena saya yakin ada terlalu banyak kisah untuk ditulis. Saya hanya ingin berbagi cerita tentang sepasang kakek nenek yang memang kebetulan saya temui dan cukup berbeda dari kebanyakan kakek nenek di sini. Hanya mereka saja yang kamarnya dipisahkan dari yang lainnya dan hanya mereka saja yang merupakan sepasang kekasih. Ya, kebanyakan kakek nenek di sini hampir semuanya sudah ditinggalkan oleh pasangannya atau sebatang kara.

Saya bertemu dengan mereka di taman, ketika sang kakek sedang menemani istrinya yang duduk di kursi roda, untuk berjalan mengelilingi taman yang ada di tengah-tengah panti jompo tersebut.

Saya menyapa dan mencoba mengajak mereka berbicara, namun hanya sang kakek yang menjawab saya, sedang sang nenek hanya diam dan terus menatap lurus ke depan sambil sesekali bergumam sendiri.

Sambil bicara pada sang kakek, saya terus memperhatikan gerak gerik wanita tua tersebut. Dalam hati, entah kenapa saya merasa sedih dan iba. Saya berpikir dan bertanya dalam hati, apakah saya akan jadi seperti beliau saat tua nanti.

Rupanya kakek tersebut tahu bahwa saya memperhatikan istrinya. Sambil membelai rambut istrinya, sang kakek menceritakan pada saya tentang asal usul dan kisah mereka tanpa perlu saya tanya.

Dari sana saya tahu, ternyata nenek tersebut adalah mantan penyanyi terkenal yang cukup digandrungi dan dikenal oleh banyak kalangan masyarakat. Beliau telah banyak mengukir prestasi dan mendapatkan banyak penghargaan.

Dari cerita kakek tersebut, saya juga tahu bahwa mereka berada di sana bukan karena anak mereka tidak ingin merawat mereka, namun karena mereka tidak ingin membebani anak mereka dan ingin berkumpul bersama teman-teman seusia mereka dengan harapan agar tidak kesepian.

Saya bisa paham dengan alasan tersebut, karena beberapa lansia yang saya temui di sini, juga beralasan demikian. Namun demikian, apa pun alasan mereka, tempat ini terlihat seperti rumah mati bagi saya. Sepi, damai dan tenang, seolah tidak ada kehidupan.

Dari awal saya datang, sampai saya berbicara dengan kakek tersebut, saya selalu melihat sorot mata yang telah kehilangan harapan atau penuh penyesalan dan beban, namun kakek tersebut berbeda, dia terlihat begitu bahagia seolah tidak memiliki penyesalan dan beban apa pun.

Hal ini yang kemudian menggelitik rasa ingintahu saya dan bertanya padanya, mengapa dia terlihat begitu bahagia.

Sang kakek tersenyum dan menjawab saya dengan sebuah jawaban klise, “karena saya bisa bersama dengan orang yang saya cintai”.

Saya salut dengan cinta kakek tersebut, namun saya tetap tidak habis pikir, bagaimana mungkin beliau bisa begitu bahagia dengan segala ketidakberdayaannya dan istrinya yang bahkan mungkin sudah tidak lagi mengenalinya.

Saya simpan rasa ingin tahu saya dan terus berbincang dengan sang kakek. Sampai saya tidak lagi mampu menahan airmata saya ketika saya tahu bagaimana kisah mereka sesungguhnya. Bagaimana perjuangan sang kakek untuk bisa bersama dengan istrinya sekarang.

Semua dimulai ketika sang istri menjadi seorang idola. Seperti yang kita semua tahu, seorang idola, terutama mereka yang naik daun, punya jadwal yang super padat dan banyak dari mereka yang menghabiskan waktu untuk pekerjaannya, sehingga rumah tangga mereka seperti terbengkalai.

Sang kakek sendiri, dulunya, bekerja sebagai seorang guru dan dia lah yang mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Saat itu, sang kakek merasa bahwa dia dan istrinya ada di dua dunia yang berbeda. Jangan kan untuk bertemu, untuk mengirim surat saja, bisa menunggu sampai satu bulan.

Lantas, apa yang membuat kakek tersebut begitu sabar dan pasrah? Karena dia begitu mencintai istrinya dan berharap mereka bisa berkumpul bersama anak-anak mereka. Dia tahu bahwa dia tidak boleh egois dan memaksakan kehendaknya untuk bersama, karena dia mengenal istrinya dengan baik.

Bagi istrinya, dunia panggung adalah cita-citanya sedari kecil. Dunia panggung adalah mimpinya. Dia selalu berusaha yang terbaik untuk mengejar cita-citanya. Namun, semua seperti hilang begitu dia hamil di luar nikah dan terpaksa harus menikah.

Wajahnya selalu muram dan sedih saat bersama sang kakek, sehingga akhirnya sang kakek memutuskan untuk mengizinkannya mengejar cita-citanya dan dia berhasil. Dia menjadi idola dan dicintai bahkan digila-gilai oleh banyak penggemarnya.

Sang kakek saat itu sangat sedih dan kecewa, namun karena cintanya yang begitu besar, dia berusaha tegar dan terus berdoa agar istrinya bisa terus bersinar, sehat dan bahagia.

Saat itu istrinya masih berusia 25 tahun, dia masih begitu muda dan berbakat, penonton menyukainya. Apalagi di tahun itu, belum banyak orang yang terjun ke dunia hiburan.

Namun seiring waktu dan seperti layaknya semua artis pada umumnya, perubahan terjadi begitu cepat, yang muda menggantikan yang tua dan selera pasar cepat berubah. Sinarnya mulai redup, ditambah usianya yang sudah tidak muda lagi, keriput juga sudah mulai menghiasi wajahnya. Meski sudah menikmati panggung selama 15 tahun lamanya, namun dia masih belum merasa puas dan masih berharap untuk berada di panggung lebih lama lagi.

Tidak terima karena sudah tidak lagi disukai, bersama dengan redupnya masa keemasannya, dia kembali pada keluarganya, kembali pada suaminya, sang kakek.

Awalnya, sang kakek mengira semua akan baik baik saja, namun ternyata tidak. Istrinya jadi lebih emosional dan jarang bicara. Walau demikian, sang kakek tetap gigih dan terus berusaha untuk menenangkan istrinya.

Dia selalu berusaha untuk menyemangati dan menghibur istrinya, walau semua itu percuma dan malah dianggap sebagai usaha yang menyebalkan karena sang kakek bukan lah orang yang baik dalam menyampaikan maksud dan perasaannya. Beberapa kali mereka bertengkar dan seringkali sang kakek berusaha sabar.

Sampai entah kapan, di mana sang kakek sendiri pun sudah tidak ingat lagi, istrinya dan dia telah lanjut usia dan anak mereka sudah besar, mereka mulai bisa menghabiskan waktu bersama dan mulai bisa menerima kenyataan.

Tidak berapa lama berselang, istrinya mulai pikun dan sering bergumam sendiri. Tapi sang kakek menikmati kebersamaan mereka, walau sang nenek pernah memperlakukannya dengan begitu buruk, walau mungkin sekarang, istrinya sudah tidak lagi mengenalinya.

Saya pernah begitu mencintai seseorang, jadi saya paham bagaimana rasa bahagia sang kakek saat bersama dengan orang yang dia sangat cintai. Namun mencintai orang yang telah menyakiti dan hampir tidak pernah ada untuk kita, rasanya sebagai manusia normal, akan sangat sulit untuk menerimanya. Cinta sang kakek bisa jadi sebuah pengecualian dari cinta manusia normal pada umumnya.

Mungkin, bagi banyak orang, nenek tersebut hanya bagian dari sebuah sejarah panggung hiburan, bintang yang telah redup, namun bagi suaminya, dia selalu menjadi bintang yang terus bercahaya di dalam hatinya.

Cerita sang kakek membuat saya berpikir dan bersyukur, setidaknya saya masih punya istri yang ada untuk saya, walau kami sering bertengkar, tapi kami selalu bisa bersama dan berkumpul bersama anak-anak kami.

Saya tidak mampu membayangkan, bagaimana jika seandainya saya berada dalam posisi sang kakek, mungkin saya sudah depresi.

Dari kunjungan saya ke panti jompo ini dan perbincangan saya dengan sang kakek, saya rasa, saya harus lebih meluangkan waktu untuk istri dan keluarga saya. Saya juga harus mengurangi kebiasaan saya mengeluh pada istri saya tentang masakannya yang kadang tidak sesuai selera saya atau mengeluh tentang hobi belanjanya yang membosankan. Setidaknya, saya masih punya orang yang begitu setia menemani saya di sisa hidupnya.

Terimakasih Tuhan, telah mengingatkan saya lewat pasangan kakek nenek tersebut tentang indahnya kebersamaan dalam pernikahan. Terimakasih karena telah dianugrahkan pasangan yang begitu sabar menghadapi saya dan mau mengerti saya.

Saya mungkin tidak mencintai istri saya seperti kakek tersebut mencintai istrinya, namun saya akan belajar untuk lebih menghargai komitmen pernikahan saya dan mensyukuri apa yang telah saya dapatkan.

Note: Cerita ini murni fiksi belaka dan saya tulis sebagai sebuah refleksi/renungan untuk siapa saja yang sudah menikah melalui sebuah ilustrasi agar pembaca mau membuka hati dan pikirannya untuk lebih menghargai pasangannya, terutama bagi yang sudah menikah.

Silakan copy paste, namun tetap santun dengan mencantumkan nama dan email penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Penulis : Hong Kosan Djojo/Ryu Kiseki

email     : ryukiseki@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun