[caption id="attachment_350526" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://goo.gl/fV8UCQ"][/caption]
Mereka memanggil saya dengan sebutan sombong, pendiam, pemalu, bahkan anti sosial. Bagi mereka, saya adalah orang yang kuper, orang yang harus dikucilkan dari pergaulan. Mereka menganggap saya bodoh dan tidak tahu apa-apa, tapi sebenarnya saya melihat dunia. Saya mempunyai waktu yang banyak untuk diriku dan belajar banyak hal baru dari pengamatanku. Saya melihat masa depan jauh ke depan dibanding mereka yang katanya “gaul”.
Saya mungkin tidak suka keluar rumah dan hanya menghabiskan waktu di depan komputer, mendengar musik, sampai menuangkan pikiranku dalam sebuah tulisan. Namun, dari sana saya belajar menggali potensi diri dan lebih mampu merenung.
Memang, saya akui, kesendirian membuat saya jenuh, terkadang ingin rasanya diperhatikan oleh seseorang dan merasakan “cinta” seperti yang dirasakan oleh orang-orang normal pada umumnya. Namun, sebagai seorang introvert, jangankan untuk berinteraksi dengan lawan jenis, dengan sesama jenis saja atau orang asing, saya merasa tidak nyaman.
Saya bukan orang yang ahli merayu atau merangkai kata, tapi saya selalu berusaha untuk menyampaikan pendapatku dengan hati-hati agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Beberapa kali saya dihina dan diinjak karena mereka pikir saya bisa dibodohi, namun saya tetap saja bersabar walau dalam hati, ingin rasanya meluapkan emosi, tapi saya terlalu takut atau tidak ingin mengungkapnya.
Saya belajar bersabar, saya belajar diam, saya belajar untuk tidak tergantung pada orang lain, namun bukan berarti saya tidak butuh orang lain, bukan berarti saya tidak mau bergaul, bukan berarti saya tidak punya perasaan.
Justru karena saya punya perasaan yang jauh lebih peka pada orang pada umumnya, saya mampu untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, saya bisa mengucapkan “maaf” dan “terimakasih”.
Saya terlihat kaku dan tidak luwes, tapi dengan segala kekakuan tersebut, saya bisa memikirkan apa yang tidak kalian pikirkan.
Mungkin saya terlihat seperti “geek” atau orang yang tergila-gila pada sesuatu/hobi. Namun sebenarnya, jika kalian mencermatinya dengan baik, itu adalah salah satu bentuk pelarian atau salah satu carsaya untuk melewati kesendirian.
Jika kalian masih berpikir bahwa seorang introvert adalah orang-orang yang menyebalkan, kuper dan terlihat lusuh. Mungkin kalian tidak mengerti bahwa sebenarnya kami sangat “bebas”. Kami menjadi diri kami sendiri sepenuhnya saat sendiri atau berada dalam wilayah kami. Kami tidak terikat oleh pasangan atau teman-teman yang bisa jadi menyebalkan.
Jika kalian berpikir bahwa seorang introvert selalu menarik diri dari lingkungan sosial, mungkin kalian salah mengerti, bahwa seorang introvert tidak anti sosial, namun kami hanya membatasi diri dari lingkungan dan keramaian yang tidak kami sukai.
Dalam pergaulan kami memilih-milih dan kami tidak melihat perbedaan, tapi sikap dan cara kalian memperlakukan kami. Kami tidak peduli dengan apa pun latar belakang dan status sosial kalian selama kalian mau bicara, mengerti dan tidak memasuki wilayah pribadi kami yang bahkan orangtua kami pun tidak kami izinkan untuk memasukinya. Kami tahu kapan harus membatasi diri kami.
Seorang introvert sulit mengendalikan perasaannya, tidak mampu untuk membohongi nuraninya, namun tidak tahu bagaimana untuk mengungkapkannya. Sebuah ironi orang introvert.
Seorang introvert tidak melulu adalah mereka yang memang bad looking, tidak diterima oleh masyarakat, atau pernah mengalami trauma, bagi sebagian introvert, itu adalah keputusan mereka untuk menjadi introvert.
Seorang introvert mungkin hidup dalam dunia pikiran dan imajinasinya. Namun, kami tidak pernah kekurangan ide untuk dibagikan. Kami mengamati, menganalisa, menyimpulkan dan mengembangkan apa yang telah kami lihat, dengar dan rasakan.
Menurut hemat saya, menjadi seorang introvert sah sah saja, tidak ada yang salah, selama dia bisa dan mau mengenali dirinya sendiri tanpa perlu memaksakan diri ikut arus pergaulan.
Banyak dari mereka yang ikut arus pergaulan dan kemudian terjerumus dalam lembah yang kelam dan penyesalan. Bahkan yang paling menyiksa adalah mereka berusaha menjadi orang lain untuk bisa diterima dalam pergaulan.
Bagi saya, seorang introvert adalah sebuah sikap dan pilihan. Saya pernah berada dalam keputus-asaan, kesendirian, ketsayatan, keraguan, namun saya percaya semua yang saya alami adalah proses pendewasaan.
Don’t judge book by its cover, mungkin itu adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan seorang introvert, namun masih kah hal tersebut bisa diterapkan di dunia yang selalu mengedepankan penampilan?
Untuk semua pembaca yang juga introvert, saya ingin mengatakan pada kalian, bahwa tidak ada yang salah menjadi seorang introvert. Kalian tidak perlu merasa minder atau malu atau merasa tersisih. Semua akan indah pada waktunya.
Di dunia ini, ada datang dan pergi. Ada cinta dan benci. Ada siang dan malam. Semua saling melengkapi. Begitu juga dengan diri dan hidup kita. Kita ada untuk saling melengkapi dan saling menolong satu sama lain.
Bayangkan jika tidak ada siang atau malam, apa yang akan terjadi? Mungkin dunia akan kepanasan atau kedinginan. Namun dengan ada siang dan malam, kita bisa merasakan panas dan dingin.
Percaya lah, hidup kita, memiliki arti bagi orang lain dan diri kita sendiri, walau pun mungkin kita belum menemukannya sekarang. Jalani hidup dengan optimis dan lihat lah dunia dan orang yang membenci kita bukan sebagai sebuah beban, tapi sebagai sebuah tantangan yang harus kita taklukkan.
Pilih lah jalan yang ingin kita tempuh karena kita ingin, walau pun gagal, terus berusaha dan berjuang. Untuk mencapai kesuksesan dalam hidup ini, dalam bidang apa pun, kadang ada yang harus kita korbankan.
Jangan pernah meremehkan kehadiran kita dalam dunia ini, karena setiap orang pasti akan membawa perubahan, sekecil apa pun itu, perubahan tetap perubahan. Jangan berkecil hati dan merasa malu menjadi seorang introvert. Terus lah melangkah dengan percaya diri dan jadi lah diri sendiri tanpa peduli apa yang ingin orang katakan.
Dengarlah saran yang membangun dan abaikan caci maki dan cemooh. Habiskan waktu untuk sesuatu yang lebih berguna daripada terus memikirkan caci maki dan pendapat orang lain. Saya adalah saya. Saya adalah apa yang saya pikirkan.
Baca juga tulisan saya lainnya:
Hubungan Manusia, Definisi dan Persepsi.
Tips Memilih Pasangan Yang Tepat Sebelum Menikah.
Bahaya dan Cara Cegah False Memory.
Menggali dan Mengembangkan Potensi Anak tanpa Membebaninya.
Rasa Takut, Cinta, Naluri dan Obsesi
Note: Silakan copy paste, namun tetap santun dengan cara memasukkan nama dan email penulis. Untuk komentar, saran dan tanya jawab, silakan mengisi kolom komentar di bawah ini.
Penulis : Hong Kosan Djojo
email : ryukiseki@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H