Mohon tunggu...
Ryu Kiseki
Ryu Kiseki Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja

Saya adalah seorang penulis yang senang menulis tentang gambaran kehidupan. Pemerhati politik dan menyukai hal-hal berbau psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Fantasi] Buku Diabel: Kabulkan Keinginanku

16 September 2014   22:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:30 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hong Kosan a.k.a Ryu Kiseki no 19

Aku benci keluarga dan teman-temanku. Mereka semua sama saja, selalu memandang rendah diriku. Di dunia ini tidak ada yang lebih aku inginkan daripada kebebasan. Aku ingin menjadi diriku sendiri, melakukan apa yang aku ingin lakukan tanpa ada seorang pun yang dapat menghalanginya.

Sayangnya, aku tidak bisa melakukannya, karena aku tidak memiliki harta atau kemampuan apa pun seperti yang dimiliki teman-teman atau ayah tiriku – Satu-satunya keluargaku yang tersisa.

Teman-temanku memiliki orangtua yang sayang dan peduli pada mereka, sedangkan ayah tiriku selalu semena-mena padaku dan memperlakukanku dengan buruk. Dari awal, aku sudah menentang ibu untuk menikah dengan pria tersebut, tapi ibu tetap menikahinya dengan alasan ekonomi.

Tidak lama setelah menikah, ibu bertengkar hebat dengan pria itu dan meninggal tidak lama kemudian karena sebuah kecelakaan fatal. Aku masih ingat hari itu, saat itu malam hari dan hujan turun deras, ibu keluar dan meninggalkanku bersama pria yang menjadi ayah tiriku di rumah ini.

Aku terlalu kecil untuk mengerti alasan mereka bertengkar saat itu, tapi yang aku tahu ibu tidak akan meninggal jika tidak bertengkar dengannya dan aku pasti tidak akan malu ketika hari ibu tiba di sekolah.

Aku tidak akan dikucilkan dan diolok-olok jika yang datang adalah ibu, bukan pria tua yang selalu mempertontonkan kepalsuan di depan orang lain untuk mendapatkan simpati dari publik dan media demi karir politiknya. Aku ingin sekali membuka topengnya, tapi aku tahu, jika aku melakukannya, maka aku akan kehilangan segalanya.

Dia memang tidak memperlakukanku dengan baik, tapi paling tidak, aku masih bisa sekolah dan mendapat tempat tinggal, juga makan ala kadarnya.

Jika anak politisi pada umumnya “terlindungi” oleh orangtuanya, mungkin itu tidak berlaku untukku yang malah hanya dijadikan alat pencitraan. Seperti saat aku memukul teman-teman yang mengolok-olokku, aku dimarahi dan dinasehati olehnya di depan umum dan dia meminta maaf pada sekolah juga publik atas apa yang aku lakukan. Sedangkan saat di rumah, aku dihajarnya habis-habisan. Sangat memuakkan.

Karena itu, aku menuliskan namanya dalam ‘buku kehidupan’ yang diberikan oleh dokter yang menolongku ketika aku mencoba untuk bunuh diri dengan racun serangga. Buku tersebut membuatku dapat mewujudkan mimpi-mimpi terpendamku.

Aku tidak tahu kenapa dokter tersebut memberikan buku berharga itu padaku. Tapi, bagiku, itu tidak penting. Yang penting adalah, aku bisa melakukan apa yang aku inginkan dengan buku tersebut. Aku cukup menulis keinginanku dan keinginanku akan jadi kenyataan.

Sayangnya, buku tersebut hanya ada sepuluh lembar, sehingga aku menggunakannya sehemat mungkin. Aku tidak tahu apa pun tentang buku itu selain sebagai alat pengabul keinginan. Sesekali aku berpikir, apa yang akan terjadi jika aku menimpa tulisanku sebelumnya atau jika aku merobek lembar pada buku tersebut, tapi aku belum pernah mencobanya.

Walau aku sudah menggunakannya sehemat mungkin, namun karena rasanya sangat menyenangkan, aku sudah menggunakannya sebanyak Sembilan lembar. Itu artinya, hanya tersisa satu lembar terakhir.

Aku jadi semakin ragu untuk menggunakannya. Aku berpikir keras, apa keinginanku selanjutnya. Apa yang ingin aku tulis. Apa yang ingin aku wujudkan.

Rasanya aku sudah mendapatkan semuanya. Aku sudah punya harta, pacar yang aku inginkan dan aku bahkan membinasakan karir politik ayah tiriku dengan mudahnya. Aku terlalu terbuai dengan semua kemudahan yang diberikan buku tersebut. Pikiranku kosong, aku merasa bosan.

Aku melihat ke arah sekeliling rumah mewahku, mataku tertuju pada sebuah album tua yang kuletakkan di atas lemari. Aku membuka lembaran pada album tersebut, satu per satu. Aku terhenti pada sebuah lembar, tempat di mana sebuah foto tua di mana aku, ibu dan ayah kandungku berfoto bersama di sebuah taman.

Tiba-tiba, aku merasa sedih. Aku rindu pada ibu dan ayah kandungku. Aku ingin mereka juga bisa menikmati kemewahan yang aku rasakan sekarang. Airmataku tidak dapat kutahan. Aku ingin memeluk mereka dan bilang, “ayah, ibu, kalian tidak perlu lagi bekerja keras. Kalian bisa tinggal bersamaku tanpa perlu khawatir akan kekurangan. Aku sayang kalian”.

Akhirnya aku menangis setelah sekian lama aku bahagia karena bantuan buku tersebut. Semua kenangan indah saat aku kecil teringat kembali. Selama ini, aku terlalu bahagia sampai aku tidak pernah memikirkan orangtuaku. Aku terlalu fokus pada diriku sendiri.

“Buku tersebut, ya, buku tersebut”, aku tiba-tiba teringat kembali pada buku tersebut. Aku sedikit ragu, apakah apa yang aku pikirkan akan berhasil, tapi aku hanya akan tahu setelah mencobanya.

Aku menuliskan nama mereka. Aku menuliskan nama mereka untuk hidup dan kembali menemaniku. Tanganku gemetar saat ingin menulis hal tersebut, tapi aku sudah menulisnya.

Aku terdiam dan menunggu. Udara sekelilingku tiba-tiba jadi dingin dan seseorang memelukku. Jantungku berdebar sesaat sebelum aku melihat wajah yang tidak asing untukku. Ayah dan ibuku berada tepat di belakangku. Sekali lagi, buku tersebut mengabulkan keinginanku.

“Ibu sayang sama kamu, nak”, kata ibu padaku sambil memelukku berdua dengan ayah. Aku menangis terharu, aku sangat merindukan mereka, “aku sayang ibu dan ayah”.

Aku membalas pelukan mereka. Tapi sepertinya ada sesuatu yang aneh. Tubuh mereka dingin dan seluruh tubuhku mulai dipenuhi oleh sesuatu yang menggeliat. Aku cepat-cepat melepaskan pelukanku dan menjauh dari mereka. Aku melihat banyak sekali belatung mulai berjatuhan dari tubuh mereka.

Aku  berteriak dan lari ke pojok ruangan sambil membuang belatung-belatung yang menempel di tubuhku. Aku mulai ketakutan dan menghindari mereka.

“Kenapa anakku?”, tanya ibu padaku.

“Tidak. Jangan mendekat. Menjauh”, teriakku.

Mereka seolah tidak mendengarkanku dan semakin mendekat, “kami kangen padamu, nak”.

Pikiranku bergejolak, aku semakin terpojok. Mataku tertuju pada buku yang ada di samping mereka.

“Buku itu”, gumamku. Aku berusaha mengambil buku itu sambil menghindari mereka. Aku buru-buru merobek halaman di mana aku menulis keinginan terakhirku.

Ibu dan ayah tiba-tiba menghilang, tapi buku itu mulai mengeluarkan suara-suara aneh dan ruangan tersebut jadi terasa berat dan angker. Tidak lama kemudian, keluar tangan-tangan gaib yang menarik tubuhku untuk masuk ke dalam buku tersebut.

Aku berusaha melawan, tapi aku tidak dapat menahannya. Buku tersebut menarik jiwaku untuk masuk ke dalamnya. Aku melihat tubuhku. Aku telah terpisah dari tubuhku. Aku berteriak, namun buku tersebut semakin kuat menarik jiwaku. Aku kehilangan kesadaranku.

Begitu sadar, aku berada di sebuah tempat yang mengerikan. Tempat yang penuh dengan tengkorak dan batu-batu berapi.

“Kamu sudah bangun?”, tanya seorang pria tua yang sepertinya sedang menungguku.

“Aku ada di mana?”, tanyaku.

“Dunia dalam buku”, jawab pria tua tersebut.

Aku langsung teringat dengan kejadian yang terakhir menimpaku. Ya, buku itu menghisap jiwaku. Itu artinya, aku sedang berada di dunia lain dan wajah pria tua itu, aku mengenalnya. Dia adalah dokter yang telah menolongku ketika aku mencoba bunuh diri.

“Selamat datang. Sekarang kamu adalah bagian dari kami”, kata pria tua itu sambil membelai rambutku.

“Kenapa? Kenapa aku harus ada di sini? Di mana ini?”, berontakku.

Tatapannya berubah jadi serius, “Apa kamu lupa? Buku tersebut telah banyak membantumu. Dan aku lupa bilang, bahwa usiamu sama dengan berakhirnya buku tersebut, ketika kamu menorehkan goresan pena terakhir pada lembar terakhir”

“Atau… Ketika kamu merobek halaman dari buku tersebut. Aku juga lupa bilang bahwa setelah kamu mati, kamu akan bergabung bersama semua pengguna buku ini”, lanjutnya.

Aku terduduk lemas, “buku apa itu sebenarnya?”.

“Buku tersebut diciptakan oleh seorang penyihir yang bernama Diabel. Dia kemudian menyegel rohnya dalam buku ketika akan dibakar, agar dapat hidup selamanya. Dan untuk tetap hidup, dia membutuhkan jiwa-jiwa segar. Agar dia tetap kuat dan bisa mengabulkan semua keinginan penggunanya”, jawabnya.

“Oh ya, aku juga lupa memperkenalkan diriku. Namaku adalah Diabel”, lanjutnya.

Note:

Diabel dalam bahasa Czech artinya iblis.

Silakan baca karya fiksi kompasianer lainnya di sini.

Gabung juga di facebooknya untuk update.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun