Mohon tunggu...
Ryu Amakusa
Ryu Amakusa Mohon Tunggu... - -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Teror

23 Juli 2016   17:26 Diperbarui: 23 Juli 2016   17:36 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejauh mana kita adalah entitas yang positif, sejauh itulah bayangan adalah entitas yang jahat. ( Carl Jung )

Beberapa teror yang dilancarkan belakangan ini membuatku jengah dan mulai bertanya apa sebenarnya yang terjadi dengan para pelaku ini ? Apa yang ingin dicapainya ? Mungkinkah ini merupakan pelampiasan rasa frustasi diri ?

Setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan tentulah memiliki alasan dibaliknya tak terkecuali yang ekstrem sekalipun. Memiliki harapan di dalamnya untuk suatu pencapaian baik yang nyata maupun hanya sebuah ilusi yang diyakini kebenarannya. Dengan harapan yang penuh ilusi-ilusi inilah seseorang dapat saja melakukan apapun. Padahal harapan itu sebagian besar abstrak dan kadang membuat putus asa pun terkadang hanyalah sebuah kata-kata penghiburan yang justru akan menjatuhkan diri ke dalam jurang terdalam. Namun, tanpa harapan manusia pun tidak dapat bertahan hidup. Sebuah paradoks dalam kehidupan.

Teror merupakan salah jalan untuk membuktikan keberadaan seseorang bahwa ia ada di dunia ini sebagaimana yang lainnya dan patut diakui. Bukan sekedar hidup dan menjalaninya dalam kekosongan seperti zombie yang tak berarah. Di ujung sana selalu ada sesuatu yang dapat dipakai untuk mengisi kekosongan tersebut. Tindakan yang mengambil cara-cara ekstrem merupakan bentuk ekspresi ke-aku-an menuntut pengakuan sebagai manusia yang berarti dalam hidup. 

Seperti yang dikatakan Haruka Mukarami bahwa orang butuh cerita yang indah dan menyenangkan, yang mampu memberi perasaan bahwa dirinya bermakna, meski sedikit. Teror dibangun atas dasar cerita-cerita dan ilusi-ilusi tentang keindahan dan kebahagian kehidupan selanjutnya. Seharusnya orang-orang sadar bahwa kebahagiaan dan keindahan kehidupan seharusnya diraih saat ini bukan yang akan datang. Namun, ilusi itu begitu memikat sehingga keberadaannya sebagai manusia saat ini terabaikan. Bagaimana bisa kebahagiaan diperoleh pada kehidupan selanjutnya jika kebahagiaan di kehidupan saat ini saja tak mampu diraih.  

Kesadaran akan kebenaran yang bersifat relatif dan kebebasan menentukan kebenarannya sendiri tanpa memikirkan mana yang benar dan tidak benar menghasilkan individu yang bertindak atas kebenarannya sendiri. Manusia itu mudah terjebak dalam kebenciaan yang tak beralasan hanya karena prasangka jahat untuk menistakan orang lain.

Manusia bagi orang-orang tertentu hanyalah sebuah obyek di mana prasangka jahat dan kecurigaan membelenggu statistik penunjuk keberhasilan dan kegagalan yang tak berkaitan dengan kemanusiaan. Juga adanya kesadaran palsu bagi sebagian orang yang tidak menyadari bahwa ia sebenarnya diperalat dan ditindas bahkan justru merayakannya dengan penuh kegembiraan. 

Teror-teror dibangun atas prasangka jahat dan kecurigaan menyatu bersama pencarian identitas diri untuk mengisi kekosongan hidup yang telah terampas paksa begitu menyiksa sehingga mengubah seseorang menjadi mesin yang tak berakal lagi. Kematian merupakan entitas harapan tertinggi bagi surga yang diidam-idamkan. Harapan palsu yang dogmakan oleh kepentingan-kepentingan tertentu.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun