Mohon tunggu...
Rorry Nurmawati
Rorry Nurmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Freelance writer || I love and passion for photography || If you have any question, please let me know at aslirorry@gmail.com or DM Instagram @ryrorry_

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menengok Perajin "Pande" Besi Tradisional Terakhir di Trowulan

23 Agustus 2018   17:16 Diperbarui: 23 Agustus 2018   20:10 1581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman serba modern ini, mungkin sebagian orang tidak mengenal pekerjaan pande besi. Karena, pekerjaan ini kian langka di kalangan masyarakat. Ini tidak lepas dari, banyaknya peralatan dapur yang diproduksi secara cepat dan massal oleh pabrik.

Ditambah lagi, seiring berajalannya waktu perajin pande besi yang dikerjakan secara tradisional alias manual, mulai digantikan dengan mesin-mesin modern yang menghasilkan produksi yang cepat dan jauh lebih banyak. Tak pelak, ini menjadi salah satu faktor banyak perajin pande besi yang memilih gulung tikar karena tak mampu membeli peralatan modern.

Namun di Dusun Jati Sumber, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, masih ada satu orang perajin pande besi yang menggunakan cara tradisional. Ia adalah Supriyo yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk menggeluti dunia pande besi.

Keahlian dalam membuat aneka peralatan dapur maupun kebun ini, tidaklah turun dari langit begitu saja. Melainkan, didapatkan secara turun temurun dari ayahnya Noto Darim sejak 46 tahun yang lalu.

Noto Darim merupakan guru yang pertama kali mengenalkannya dengan kehidupan besi, sekaligus menjadikannya sebagai keturunan keempat yang masih melestarikan pande besi secara tradisional. Bahkan, Supriyo adalah satu-satunya perajin pande besi tradisional yang tersisa di Kecamatan Trowulan.

Di gubuk beratapkan plastik dan anyaman bambu ini, Supriyo dibantu oleh Sualimah adik perempuannya dalam membuat peralatan dapur pesanan orang. Tak banyak memang, tapi pesanan itu selalu datang setiap harinya.

Pesanan yang selalu diterima oleh Supriyo mulai dari celurit, bendo, pisau, pedang, keris, kapak dan cangkul. Tak jarang, ia dimintai tolong oleh para tetangga untuk mengasah peralatan dapur maupun kebun supaya lebih tajam.

"Tidak harus dibuatkan, tapi ada juga yang minta diasahkan saja supaya lebih tajam. Saya tetap menerimanya," katanya.

Hasil produksi dari cara tradisional tak kalah bagus dengan mesin/Foto pribadi
Hasil produksi dari cara tradisional tak kalah bagus dengan mesin/Foto pribadi
Meski dalam pembuatannya masih terbilang tradisional, Supriyo tak pernah mematok harga mahal. Ia pun membandrol harga mulai dari Rp 75 ribu hingga Rp 150 ribu. Itu pun, masih harus dibagi bersama adiknya yang mengalami kebisuan sejak kecil.

"Kalau dulu, masih sering terima pesanan sampai kodi-kodian dari pabrik gula. Tapi sekarang sudah di-stop, jadi cuma menerima pesanan seadanya," imbuh Supriyo.

Di usianya yang telah memasuki setengah abad lebih, Supriyo kini tak mampu melayani permintaan pesanan dalam jumlah banyak. Karena kini tenaganya tak lagi muda, sehingga ia hanya mampu menerima pesanan tak lebih dari sepuluh dalam sehari.

Sedikit harapan darinya  untuk dapat menurunkan ilmunya kepada generasi penerus di kelurganya. Tapi, keinginan itu harus ditepis jauh-jauh. Pasalnya, ia merupakan generasi terakhir dan tak ada keturunan laki-laki lain di keluarganya.

 "Saya generasi terakhir yang bisa seperti ini. Sedangkan anak saya cuma satu itu pun perempuan. Anaknya adik juga perempuan," jelasnya pria 59 tahun ini.

Di tengah kepanikannya dan gempuran alat modern, Supriyo tetap bertahan menggunakan alat tradisional. Meskipun dari pemerintah daerah telah memberikan bantuan kepada lima perajin pandai besi sebuah alat modern. Sayangnya, ia menolak.

"Dulu sempat ada bantuan alat blower, tapi saya tolak. Karena saya ingin mempertahankan pembuatan ini secara manual," tegasnya.

Pengasahan besi secara manual untuk menghasilkan ketajaman yang sempurna/Foto pribadi
Pengasahan besi secara manual untuk menghasilkan ketajaman yang sempurna/Foto pribadi
Diceritakan oleh Supriyo, dulunya kawasan Trowulan yang konon merupakan pusat Kerajaan Majapahit, banyak dijumpai para perajin pande besi. Tak tanggung-tanggung, ada lebih dari 45 perajin yang eksis pada masanya.

Namun, seiring berjalannya waktu para perajin itu mulai mengalami penyusutan. Pun mulai banyak yang memilih gulung tikar dibanding harus bertahan diantara himpitan persaingan dan modernisasi.

"Kalau yang bertahan sampai saat ini masih ada lima orang. Tapi hanya saya yang memakai cara tradisional, kalau lainnya sudah pakai mesin," ungkap Supriyo.

Meski harus tertatih-tatih dalam mempertahankan pande besinya, Supriyo tak pernah pantang arah. Buktinya, hingga saat ini ia masih sering menerima pesanan dari luar daerah hingga provinsi. Seperti Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, ia juga kerap mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun