September 2015, sekitar 200 kilometer menuju perbatasan Deir Az-Zhor, Suriah Timur, sebelum kami terjebak 20 jam akibat pemblokiran jalan oleh HT (baca di sini).Â
Kami bergerak menggunakan pesawat dari Doha, Qatar menuju Bandara Erbil di Irak. Dari Erbil kami naik mobil menuju Mosul, Irak Utara untuk ganti mobil jeep buatan Amerika tahun 1986 tipe Defender, dan bergerak 7 jam menuju kawasan ladang gas Raqqa, di Suriah Timur.
Kami harus berganti mobil, karena tidak ada satupun penerbangan yang dizinkan mendarat di Damaskus, Suriah.
Sebetulnya bisa saja kami langsung ke Raqqa dengan melintasi Suriah Utara melewati desa kuno Tell Beydar, tapi kami lewat tengah karena menghindari isu bahwa tentara ISIS sedang bergerak ke utara. Tapi justru di area tengahlah mobil kami di berhentikan.
Mobil kami diberhentikan tepat di minimarket setelah menyebrangi sungai Al Khabur oleh tiga orang wanita yang semuanya memakai Burqa hitam hingga menutupi mata kaki. Mereka tidak berbicara, hanya memberi isyarat meminta kartu pengenal. Saya berikan KTP Indonesia dan passport, diikuti oleh kawan saya.Â
Setelah beberapa saat, mereka memberi isyarat kedua tangan ke dada mereka lalu ke dada saya. Kata kawan saya yang asal Oman, itu artinya kita "seiman", entahlah, saya yes yes saja.
Oh, mungkin karena di KTP dan Passport saya bertuliskan Islam. Okelah, saya lalu bertanya kepada para wanita tadi kemana ingin pergi, kami bisa berikan mereka tumpangan, kebetulan mobil petualang ini cukup besar untuk tambahan tiga wanita.Â
Tapi mereka menolak, entah apa alasannya karena mereka tidak berbicara apapun, hanya isyarat melalui tangannya yang juga dibungkus kaus tangan hitam. Ada yang aneh bagi saya, tapi entah apa. Dan sebelum pergi saya sempat melihat tong besar hijau di belakang mereka yang ikat tali, dan tali itu dipegang terus oleh salah satu wanita berburqa yang sedari tadi hanya diam.
Kami pun melanjutkan perjalanan hingga kilo 30 sebelum sungai Eufrat yang legendaris, lalu kami tinggalkan mobil di sebuah rumah yang pemiliknya sudah kenal baik dengan salah seorang rekan kami. Alasannya, agar mobil tidak tersandera di dalam Suriah setelah perbatasan, jika ada apa-apa kita bisa lari atau menggunakan taksi atau mobil tumpangan saja.
Dari situ kami melanjutkan naik taksi hingga Deir Az-Zhor dimana kami akhirnya terjebak 20 jam. Persis setelah sang supir taksi mengira saya orang Filipino, kami mendapat kabar bahwa tentara pemerintah Bashar Al Assad di tembak mati di pinggir jalan. Tepatnya di pinggir minimarket dekat sungai Al Khabur.
Lho, itukan tempat saya diberhentikan oleh wanita berburqa tadi? Usut punya usut, ternyata wanita berburqa tadi bukanlah wanita, tapi tentara ISIS yang menyamar, dan mereka laki-laki.Â
Shock saya, kami berempat bisa ditipu oleh penampilan teroris hanya dengan Burqa. Padahal saya sempat merasa aneh, karena meskipun wajah mereka tak terlihat, bentuk tubuh mereka ada yang tegap seperti laki-laki.
Dan baru saya menyadari bahwa tong hijau yang mereka bawa dengan tali tadi berisi senjata. Tentara pemerintah adalah target mereka.
Andaikan kami tadi sedang sial, atau mereka sedang iseng terhadap kami, bisa saja kami jadi pendahulu tentara pemerintah tadi. Betul-betul acak, betul-betul licin dan menipu.
Jadi tidak aneh jika sebelumnya banyak negara yang melarang penggunaan Burqa, Niqab atau apapun (termasuk hijab bercadar) Â yang menyembunyikan identitas. Alasannya jelas, penipuan identitas kerap terjadi sebagai bentuk kejahatan.Â
Apalagi persis pada Maret 2015 lalu, milisi ISIS di Irak di porak porandakan oleh pasukan gabungan di Tikrit, Utara Baghdad. Dan beberapa buronan ISIS mencoba kabur keluar dari Irak dengan memakai Burqa lengkap dengan blush on dan alis mata.
Burqa atau Niqab atau cadar memang sebuah dilema. Di satu sisi ada muslim yang memakai mahzab Hanafi, seperti Syabila yang saya temui di Qatar (baca di sini).
Bagi Syabila dan keluarganya, cadar (menutup wajah) tidaklah wajib. Syabila itu cantik, dan alasan dia memakai cadar adalah karena dia tidak mau dilamar oleh laki-laki di umurnya yang masih dua puluhan. Simple.
Satu sisi lagi, ada golongan yang menganggap bahwa cadar adalah wajib, mengacu kepada riwayat-riwayat istri Rasulullah SAW.
Tapi menurut KH M. Luqman Hakim, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor mengungkapkan bahwa tak ada satupun istri sahabat Nabi yang bercadar, hanya istri Nabi yang bercadar. Artinya, cadar adalah kebutuhan khusus, bukan umum. Ditambah tidak ada satupun riwayat yang menjelaskan komunikasi Nabi SAW dengan perempuan di zamannya bahwa perempuan harus bercadar.
Dan kembali lagi, berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho' bin Abi Robbah, dan Makhul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan oleh wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Tafsiran mereka adalah tafsiran ketegori shahih, sehingga jika ada pelarangan terhadap Burqa atau pakaian penutup wajah karena sesuatu hal yang dapat berbahaya, maka bisa dipahami.Â
Sama pula kaitannya dengan wacana Menteri Agama RI melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang untuk ASN. Terutama untuk cadar, apalagi burqa. Toh itu bukan wajib.Â
Protes bisa disampaikan apabila yang dilarang Pak Menteri adalah yang jelas-jelas wajib, misal larangan sholat Jumat, atau membatasi waktu sholat Dhuhur dan Ashar karena alasan efisiensi waktu. Itu boleh diprotes keras.
Malah saya usul agar ada Keppres pelarangan Burqa di tempat umum dengan alasan berpotensi menyembunyikan identitas dan potensi digunakan oleh pihak-pihak untuk menimbulkan kejahatan atau aksi terorisme.
Buktinya sudah ada, potensi jelas muncul. Lalu apa lagi yang ditunggu pak Menteri?
"Emang kenapa sih om kalo pak Menteri di protes? Bikin trotoar aja jadi polemik, apalagi soal cadar, biarin aja" Saut Paijo sore-sore.
"Ooooh..Lha kretek mu aja sebentar lagi di protes kok, gak usah gaya-gaya belain orang protes kamu..mau rokokmu ditarik?"
"Waduuh, ya jangan kalo yang ituuu ooomm.."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H