Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Dilantik, Prabowo Pun Hadir, Lantas Siapa yang Masih Nyinyir?

21 Oktober 2019   08:26 Diperbarui: 21 Oktober 2019   08:39 1521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo yang mengucapkan selamat ke Jokowi. Sumber: detik.com

"Pura babbara' sompekku, Pura tangkisi golikku". Sebuah bahasa bugis yang artinya: "Layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang".

Kalimat yang hadir di instagram Presiden Joko Widodo terbaru. Kalimat yang kuat dan memiliki kesan percaya diri. Ya, kemarin, 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi telah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua kalinya, periode jabatan 2019-2024.

Kalimat tersebut menegaskan, meski tertatih-tatih dan penuh luka cacian, Jokowi tidak terbendung. Dia adalah pemenang dari pemenang. Jokowi bukan saja mampu meyakinkan lebih dari 50% rakyat Indonesia, tapi yang terhebat adalah, mampu merangkul "musuh bebuyutan".

Jokowi terlihat memainkan jurus pamungkasnya: Diplomasi. Setelah diplomasi MRT, diplomasi nasi goreng ala Megawati dan diplomasi meja makan dengan para ketua partai. 

Menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji. Menang tanpa merendahkan pihak lain, kuat dengan apa adanya. Kira-kira itulah umpama yang pas.

Hasilnya Prabowo dan Sandiaga Uno hadir di acara pelantikan Presiden, langkah mereka cukup meyakinkan meskipun beberapa kali wajah tertunduk Sandi terlihat kamera. Wajar saja. Sedangkan Prabowo, wajahnya sumringah, tampak tidak dibuat-buat dan terkesan legowo.

Kehadiran mereka menegaskan dua hal: Pertama, tidak ada lagi kubu 01 atau 02, tidak ada kampret ataupun cebong.

Kedua, ini sekaligus semakin memperkecil kemungkinan siapa pihak-pihak yang ingin mengacau Indonesia. Prabowo dan Sandi membuktikan bahwa mereka adalah seorang ksatria. Mereka cinta NKRI.

Lalu kenapa masih banyak yang nyiyir di media sosial? Justru itulah yang perlu dipertanyakan.

Mereka yang masih nyinyir adalah haters abadi Jokowi. Mereka yang memiliki kepentingan lain selain tegaknya NKRI. Merekalah yang gemar berteriak Indonesia darurat khilafah.

Setelah Jokowi ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019, demonstrasi besar adalah demonstrasi Mahasiswa menolak revisi UU KPK dan RUU KUHP. Okelah Mahasiswa punya tujuan, tapi di antara kelompok pendemo sendiri ternyata pecah menjadi dua, yaitu:

Mereka yang asli mendukung Mahasiswa, dan mereka yang teriak Jokowi turun dari kursi Presiden! Padahal agenda kedua tidaklah ada di dalam aksi Mahasiswa.

Dan benar saja, beberapa hari setelah demo Mahasiswa, muncul aksi tambahan, yaitu aksi Mujahid 212, membawa embel-embel 212 aksi ini pasti di agendakan oleh tokoh alumni 212.

Aksi ini bolak-balik menyuarakan agar Jokowi turun. Dengan membawa banyak bendera Ar-Rayah -bendera yang selalu digunakan HTI dalam aksi- mereka justru tidak membahas secara substantif isi tuntutan Mahasiswa. Justru mereka kembali membawa misi pendirian khilafah. 

Aksi ini aksi yang latah, ikut mendompleng aksi Mahasiswa. Begitupun beberapa oknum organisasi radikal yang beberapa kawan saya. Mereka memasang status di facebook dan whatsapp dengan penuh kebencian dan siap perang.

Ditambah lagi kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto, dimana pelaku yang terindentifikasi sebagai anggota JAD.

Kilas balik JAD. JAD (Jamaah Ansharut Daulah) adalah kelompok radikal pecahan JAT (Jamaah Ansharut Tauhid) pimpinan Abu Bakar Ba'asyir. JAD terang-terangan menyatakan terafiliasi dengan ISIS.

Serangan mereka yang terkenal adalah bom Surabaya yang di dalangi oleh satu keluarga. JAD ini gerakannya sporadis, acak dan tiba-tiba. Penusukan Wiranto mudah dilacak karena polanya sama.

JAD, JAT, JI, HTI atapun Ikhwanul Muslimin tujuannya satu, yaitu mendirikan negara khilafah. Bedanya, HTI/IM bergerak lewat gerakan politik dan JAD/JAT/ISIS lewat gerakan terorisme. 

Untuk lebih lengkap, silahkan baca tulisan saya sebelumnya: Menguak Arab-Spring Indonesia 

Dari sini sudah terbuka semua, Prabowo seakan ingin melepaskan diri dari gerombolan yang selama ini "nebeng" tenar. Termasuk Front yang ketuanya masih tertahan di Saudi itu.

Mereka massanya sebetulnya tidak terlalu banyak, tapi militan. Aksi 212 untuk menjatuhkan Ahok adalah keberhasilan mereka, mereka mampu menggandeng massa dari kalangan biasa.

Massa dari kalangan biasa ini hanya bergerak karena Ahok, bukan simpatisan mereka. Terbuktu ketika aksi mujahid 212 yang menolak revisi KPK, aksi mereka lenyap begitu saja. Tidak ada aksi heroik dan massa yang bertumpuk. Selepas Dhuhur mereka sudah bubar.

Ini membuktikan jika masyarakat sudah paham siapa yang menunggangi setiap aksi demo. Pancasila sangat kuat. Meskipun butuh perkuatan dari sisi pendidikan dasar hingga saringan masuk abdi negara.

Wacana ASN harus bersumpah setia kepada Pancasila sudah mutlak harga mati. ASN yang nyinyir bahkan pro khilafah sama saja "buang kotoran di tempat makan sendiri", kata pendiri Kompasiana dilaman status facebook.

Prabowo dan Sandi masih butuh panggung di 2024, terutama Sandi. Nekat sekarang sama saja bunuh diri. Lebih baik kalem sekarang sambil menyusun kekuatan yang solid.

Dan mereka berdua sudah membuktikan, mereka nasionalis sejati. Kelompok radikalisme bukanlah bagian dari mereka. Kelompok radikalis dan simpatisannya adalah sisa-sisa dari pertempuran Pilpres. 

Hanya merekalah haters sejati Jokowi, tinggal keputusan Jokowi, tumpas atau tunda.

Karena sekecil apapun, mereka adalah riak yang selalu menunggu waktu untuk timbul kembali.

***

di tulis juga di www.ryokusumo.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun