Orang negara ber-flower +62 ini sukanya bikin ribut, apa-apa gaduh, padahal baru saja saya ingin leyeh-leyeh setelah capek ber blog-war ria menjelang Pilpres lalu.
Tapi kali ini kita tidak membahas politik atau soal rudalnya ayah Naen, tapi soal isu rokok PB Djarum yang di protes oleh KPAI. KPAI menuding bahwa PB Djarum menyimpan muslihat tersembunyi soal kampanye rokok terhadap anak-anak berbalut pembinaan olahraga Bulutangkis.
Ini menyoal tentang audisi pencarian bakat Bulutangkis dengan beasiswa yang disponsori oleh PB Djarum.
KPAI pun di kritik, lho emang kenapa sih?
Asal tahu saja, misi KPAI ini sungguh mulia. KPAI ingin agar yang namanya olahraga ya olahraga, tidak ada embel-embel bakul rokok yang notabenenya justru merusak kesehatan.Â
Tidak ada lagi propaganda psikoanalisis Sigmund Freud yang di gunakan perusahaan rokok untuk memperdaya anak di bawah umur bahwa rokok identik dengan kejantanan dan kebebasan.
Sudah sejak dulu olahraga di Indonesia selalu identik dengan rokok, dulu ada yang namanya Liga Dunhill, Liga Kansas hingga Copa Dji Sam Soe yang semua dari rokok. Strategi para bakul rokok ini cerdas, mereka menjadi sponsor olahraga yang identik dengan kesehatan karena bisnis mereka justru menghasilkan sebaliknya. Bisnis yang menjual ironi.
Masalahnya, PB Djarum ini beda dari bakul rokok lain. Mereka konsisten bukan hanya untuk dukungan sponsorship, tapi juga pembinaan yang betul-betul serius. Buktinya adalah seorang Liem Swie King, legenda Bulutangkis yang menjuarai All England 1978, 1979 dan 1980, di tambah sebagai juara Thomas Cup tahun 1976 yang membuat Liem menjadi idaman gadis-gadis termasuk ibu saya, pada zamannya.
Kartono dan Heryanto, mereka ini berhasil menyabet juara pada kejuaraan All England 1981 dan Thomas Cup 1984. Lalu Christian Hadinata, maestro gaek Bulutangkis yang paling sering kita dengarkan komentarnya di hampir setiap pertandingan Bulutangkis, beliau adalah juara All England 1972, 1973, Japan Open 1981 dan dua medali emas Asian Games 1982! What a legend!
Legenda berikutnya adalah Ardy B Wiranata dan tentunya Alan Budikusuma, dua legenda yang membuat anak-anak era 90'an bercita-cita menjadi mereka, piawai di lapangan dan jadi idola di luar.Â
Anak 90'an pasti masih ingat tangisan epic Susi Susanti pada Olimpiade Barcelona tahun 1992 kan? Nah di tunggal putra, Alan Budikusuma lah orangnya. Dan kemudian mereka pun berjodoh.