Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Upaya Delegitimasi Pemilu Itu Kian Nyata

15 April 2019   20:28 Diperbarui: 15 April 2019   20:40 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tulisan ini sebetulnya hanya menegaskan kembali fakta di tulisan saya sebelumnya yang terjadi berdasarkan sejarah negara lain dalam proses Pemilihan Presiden yang berakhir rusuh. 

Mengapa terjadi rusuh? Mari kita simak.

Pertama adalah Honduras, saya kutip dari tulisan lawas saya:

"Jarum jam belum sampai di angka 7 pagi, ketika serombongan pemuda yang mengaku simpatisan Alliance, kelompok oposisi Honduras yang dipimpin oleh mantan wartawan olahraga keturunan Palestina, Salvador Nasralla mendatangi rumah Martinuz, seorang karyawan perusahaan retail di Tegucigalpa, Ibukota Honduras.

Mereka merusak pagar rumah Martinuz, menuntut Martinuz bersaksi di pengadilan untuk membuka dugaan kecurangan Pemilu dari petahana, Juan Orlando Hernandez dari partai Nasional. Martinuz adalah anggota TSE, "KPU"nya Honduras. Martinuz dipaksa membuka mulut, namun Martinuz menolak.

Akibatnya, rombongan pemuda tadi mengamuk, rumah Martinuz di bakar dan merembet kepada kerusuhan massal di Honduras. Terjadi bentrokan antar massa dan kepolisian, total 11 orang meninggal dalam kasus Honduras pasca pemilu".

Di Honduras telah tercipta di dalam pola pikir masyarakat pendukung oposisi bahwa kubu petahana telah berlaku curang sejak kampanye. Jadi jika Juan Hernandez sebagai petahana menang, maka pastilah Pemilu tersebut curang. Apakah faktanya curang? Hingga saat ini tuduhan Nasralla belum terbukti.

Kedua, adalah Pemilu di Kenya. 

Pada 2007, kerusuhan terjadi ketika oposisi Raila Odinga tidak terima hasil pemilu yang memenangkan petahana Mwai Kibaki. Kerusuhan memakan korban 1300 orang dari data resmi, data tak resmi melaporkan angka sampai 3 kali lipatnya.

Kerusuhan terjadi lagi pada Pemilu 2013, dengan lakon yang sama, Raila Odinga pada oposisi melawan Uhuru Kenyatta, putra Presiden pertama Kenya Jomo Kenyatta. Odinga kalah lagi, rusuh lagi. 

Penyebabnya sama, oposisi menuduh petahana berlaku curang sejak awal. Padahal, sang petahana Raila Odinga adalah tokoh oposisi yang sama pada 2007 dan 2013. Artinya, rakyat Kenya memang tidak memilih dia. Namun ambisi kekuasaan yang membuat Odinga menyulut pendukungnya untuk menolak hasil pemilu dan kemudian rusuh.

Ketiga, adalah yang terbaru, 2019. Yaitu pemilu Venezuela.

"Pemilu tidak sah!" Teriak seorang oposisi pada saat Nicholas Maduro, Capres petahana di Venezuala baru dikukuhkan sebagai pemenang pemilu.

Teriakan itu adalah korek api di atas bom waktu yang siap meledak kapanpun. Dimana bom itu diletakkan sejak lama oleh oposisi sebagai senjata akhir dalam merebut kekuasaan yang mereka tampak gagal di awal.

Yup, akhirnya pemilu Venezuela pun berlangsung rusuh, bahkan Amerika Serikat ikut-ikutan membekukan aset Venezuela di luar negeri. Lebih parah lagi, sang Capres Oposisi Juan Guaido mengukuhkan diri sebagai Presiden sementara Venezuela yang justru didukung oleh Eropa.

Mengapa demikian? Entah, tapi yang pasti di tengah hiruk pikuk kerusuhan di Venezuela, Maduro justru didukung oleh China, Rusia dan Kuba. Nah, anda bisa menebak sendiri kenapa Amerika cawe-cawe.

Dan, ya, bom itu adalah bangunan kecurigaan terhadap panitia Pemilihan Umum yang dibangun sejak lama, sejak masa kampanye. Pemicunya ialah hasil elektabilitas yang rendah dari pasangan Capres/Cawapres dari oposisi. 

Persis yang terjadi di Honduras, Kenya maupun Venezuela bisa terjadi di Indonesia. Ditambah lagi, ada kepentingan Amerika dan Eropa yang "digerogoti" di Indonesia, dari mulai pengambilalihan blok Rokan, ambil alih Freeport dan Hulu Mahakam.

Mudah saja sebetulnya kita melihat pola. Pertama adalah tercecernya E-KTP lalu hoaks 7 kontainer dan terakhir adalah kasus penggerebekan tercoblosnya surat suara di Malaysia dengan pencoblos dan penggerebeg diduga sama orangnya (terlalu mirip untuk dibilang kembar siam sekalipun), meskipun untuk yang di Malaysia saya masih menunggu hasilnya.

Tapi anyway, ini adalah bagian dari bangunan-bangunan delegitimasi yang tampak dirancang terencana, tujuannya mungkin untuk mendeskriditkan KPU dan Pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu yang sah.

Dan harus saya akui, bangunan "delegitimasi" itu telah terbangun. Mertua saya yang memihak oposisi berkali-kali bicara lantang bahwa Pemilu pasti curang, kalau Jokowi sampai menang pasti curang. Saya hanya dapat berucap:

"Maaf, bagaimana curang lha wong semua survey hasilnya Jokowi unggul" Ucap saya dengan penuh takzim.

"Ah, pasti curang, survey yang mana?? Survey internal kita donk yang dipercaya...survey rame-rame kok dipercaya..?" Jawabnya lantang.

Duh gusti, untungnya saya dari Ikatan Cowok Kuat Menghadapi Mertua Oposisi Militan (INDOMI) sudah pernah ramaikan GBK. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun