Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye Akbar dan Sebuah Nostalgia Prabowo

8 April 2019   16:10 Diperbarui: 9 April 2019   19:12 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.alinea.id

Beberapa minggu lalu saya berdiskusi dengan seorang kawan, salah satu pentolah lembaga survei. Ketika itu saya bertanya tentang apa kira-kira langkah terakhir yang akan diambil Prabowo dalam periode kampanye saat ini, dimana total disemua lembaga survei, elektabilitas maupun popularitas pasangan Jokowi-Amin unggul cukup jauh dari Prabowo-Sandi. Bahkan survey Kompas yang dibilang angka "dekat" pun selisihnya 11%.

Beliau hanya tersenyum simpul. Saya curiga, dia menyimpan sesuatu. Saya biarkan dia menyeruput kopi mocca arabikanya terlebih dahulu.

"Gini mas". Ujarnya. Saya kalau dengar yang "gini mas" itu agak ser-seran rasanya.

Dia menjelaskan secara gamblang, bahwa dari sisi manapun baik popularitas dan elektabilitas Jokowi sulit dilampaui secara angka maupun lapangan. Kompas memang terus terang bahwa suara Prabowo meningkat dan Jokowi menurun. Tapi secara perhitungan aritmatik proporsional 100%, suara Jokowi jauh diatas 50%, bahkan menyentuh 57%. Dengan anggapan golput ada di 10%.

Untuk berlari kearah sana, Prabowo butuh namanya "kenekatan" tindakan, dan Prabowo punya kapasitas itu. Prabowo sosok yang berani dan pengambil resiko meskipun fatal.

"Saya hanya bercermin dari kasus Ahok mas" Ujar dia.

Menurut dia, kasus Ahok adalah pelajaran yang teramat berharga bagi pendukung Jokowi dimanapun. Jokowi kapanpun, dimanapun, bahkan sedang tidurpun, bisa di "Ahok-kan". Dulu siapa sih yang bisa ngalahin Ahok? Tidak ada, secara kemampuan teknis maupun finansial.

Orang seperti Ahok pasti punya banyak musuh, begitupula Jokowi. Ingat, tidak ada satupun pemimpin didunia ini yang bisa menyenangkan semua pihak.

Sayangnya, ujar dia. Sayangnya, Jokowi adalah orang yang teruji dalam adu emosi. Dia tahu kapan momentum untuk marah (yang sebenarnya pun bukan marah, lebih ke "mancing") seperti kata-kata "gebuk" dsb. Beda dengan Ahok.

Jokowi seperti suka memainkan ritme permainan, Jokowi tahu pasti, kapan harus mengalah, harus slow, pelan, tapi tiba-tiba menghentak seperti dalam dua debat awal. Bahkan di debat terakhir pun Jokowi memberikan closing statement yang sontak menghentikan gerak lawan yang sudah panas, lantas mengikuti ritmenya.

"Andaikan ini perang, ini perang tingkat tinggi" Ujarnya.

Nyaris tim Prabowo belum menemukan titik terlemah Jokowi seperti kasus Ahok. Yang bisa diserang dari seorang Jokowi adalah program-program yang masih belum sempurna, meskipun sudah berjalan. Dan itu basi, serangan seperti itu mudah dipatahkan, bahkan oleh Jokowi sendiri.

Jadi, yang bisa dilakukan adalah TETAP mengulang nostalgia menjatuhkan Ahok TANPA ada kasus hukum dari Jokowi. Pengerahan massa dalam jumlah besar dengan target peserta yang sama persis. Dan tujuannya cuma satu: Orasi, tidak ada agenda lain.

"Dan itu pasti, pasti akan dilakukan menjelang debat terakhir, karena hanya itu momentnya" Sambung kawan saya.

Dan ucapannya terbukti, pengerahan massa  di GBK terjadi hari Minggu lalu (7/4/2019) dengan atribut massa yang sama persis dengan agenda 212 yang bertujuan menjatuhkan Ahok. Sama persis, dari wajah anggota hingga kostum.

Bahkan anggota keluarga saya yang ikut pun sama, dengan kostum dan bendera yang sama.

Ini seperti dejavu, pengerahan massa yang sama melibatkan pendukung yang sama hingga perintilannya pun sama, yang membedakan hanyalah lokasinya. Ini membuktikan bahwa ucapan Prabowo ketika debat Capres lalu tentang anti-khilafah dipertanyakan.

Lho kok di pertanyakan? Ya iyalah, ini seperti copy-paste gerakan Monas dahulu. Di inisiasi oleh tokoh-tokoh yang sama, bahkan ada pidato Habib Rizieq Shihab di GBK. Turut campur ormas FPI, HTI dkk kental sekali terasa.

Jika SBY berkeberatan adanya kampanye eksklusif Prabowo seperti ini, ya memang seperti itu adanya. SBY dan AHY (tidak hadir) juga mungkin jengah dengan berulang-ulangnya pola metode yang sama.

Mungkin memang itulah momentum akhir Prabowo. Jadi Prabowo hari Minggu lalu justru menunjukkan dengan lugas siapa pendukungnya, siapa inisiatornya, dan siapa anggotanya. 

"Sayang tidak ada Ahok yang bisa diganyang disana" Ujar kawan saya tadi melalui WA.

Prabowo dan tim jadi terlihat tidak konsisten untuk mendukung keberagaman di Indonesia. Pembicaraan mengenai Pancasila harga mati pun menjadi rancu. Pancasila itu inklusif, bukan eksklusif. 

Karena Pancasila hadir dari dan untuk keberagaman itu sendiri.

Pancasila harga mati, ya harga mati juga untuk keberagaman. Saya jadi bingung, semangat Pancasilanya mana?

Ya tapi apa boleh buat, mungkin itulah peluru terakhir sang Jendral. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun