Sejak debat Pilpres ke-4 kemarin saya terus kepikiran, kok bisa ya Jokowi tercetus sebuah nama viral nan epic, Pemerintahan Dilan? Saya yakin Jokowi cuma "numpang" viral dengan mengambil nama Dilan, tokoh film anak muda asli Bandung yang terkenal lewat novel Pidi Baiq.Â
Ya, cuma numpang tenar, karena "Dilan" aslinya adalah sebuah visi.
Visi yang dipikirkan oleh Jokowi secara matang. Dilan atau Digital Melayani adalah sebuah "platform" berbasis teknologi informasi yang sangat berguna untuk mempercepat layanan ke masyarakat, merampingkan pemerintahan yang gemuk, mengurangi angka korupsi di pemerintahan dan dengan hasil akhir adalah kepuasan layanan pemerintah ke rakyat.
Kita tidak bisa menghindar dari teknologi, adalah sebuah kebinasaan jika memilih "lebih baik teknologi lama". Kakek saya pun bahkan harus beradaptasi dengan teknologi di tahun 1950 ketika radio mulai menggantikan orang bertukar cerita, di tahun itu radio tak ubahnya Google saat ini, informasi menjadi begitu cepat.
Kecepatan teknologi saat ini secepat kedipan mata. Besok pagi ketika kita bangun tidur, entah apa yang diciptakan Google untuk peradaban, setelah pagi ini Google merilis teknologi Artificial intelligence (AI) dimana Google dapat merestorasi foto lama hitam putih menjadi foto warna natural, dan Google Assistant yang dapat menolong kamu untuk sekedar pesan mie ayam di restoran.
Lantas mau ke mana kita jika gaptek, bahkan kembali ke teknologi lama? Kita akan seperti negara yang tak punya harapan; Afrika, sebagian timur tengah dan Amerika Latin yang pemimpinnya sibuk mengumpulkan kekayaan dan terus berkuasa ketimbang membangun peradaban.
Apa yang dihasilkan Muammar Gaddafi untuk Libya? Tidak ada, kecuali kekayaan pribadinya yang sangat fantastis. Libya tidak punya utang, ya, tapi kaum perempuan di sana tidak punya hak, hanya mencuci, masak, dan melahirkan. Tidak ada peradaban yang dibangun kecuali peradaban standar sekAdar menyamakan dengan negara terbatas lain.
Jadi visi Jokowi di dalam debat sangatlah jelas dan nyata. Jokowi meng-klaim telah mengurangi 23 lembaga yang tidak efisien. Implikasinya adalah turunnya un-efficient cost yang bisa digunakan untuk pemerataan infrastruktur dan perbaikan ekonomi PNS.
Sekali lagi, Jokowi sudah menjawab itu semua dengan aksi, nyatanya, Freeport dan Blok Rokan sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Lho kata Prabowo, Freeport McMoran melaporkan keuntungan 81% lari ke FCX sebagai induk Freeport, bagaimana ini?