Berawal dari bacaan pagi ini, Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009). Â Sintong menulis kisah penting tentang Prabowo disini. Oya, mari kita sruput kopi dulu..
1983, Prabowo muda kala itu adalah sosok yang populer di mata militer, anak seorang 'begawan ekonomi' Soemitro Djoyohadikusumo, tampan, kaya dan cukup berkharisma untuk jadi menantu anak seorang Presiden Soeharto, yang kala itu kekuatannya tak tertandingi. Prabowo seperti 'putra Thanos', bebas berlaku apa saja.
Bulan Maret di tahun yang sama, kala itu Indonesia sedang menghadapi Sidang Umum MPR. Luhut Binsar Pandjaitan yang kala itu menjabat pimpinan Detasemen 81/Anti Teror berpangkat Mayor, dikejutkan oleh bersiaganya pasukan seperti ingin menghadapi perang.Â
Luhut pun bertanya ke bawahannya "Mengapa bersiaga?"
Di jawab oleh bawahannya bahwa mereka bersiaga atas perintah Prabowo Subianto sebagai bagian dari rencana penculikan Letnan Jendral L.B Moerdani. Prabowo yang kala itu menjabat sebagai wakil pimpinan Detasemen 81/Anti Teror berpangkat Letnan, alias wakil dari Luhut, berusaha meyakinkan Luhut bahwa L.B Moerdani terduga akan melakukan coup d'etat. Dengan bukti disadapnya seluruh ruangan / markas mereka.
Bahkan Prabowo sempat menyampaikan; "Bang, nasib negara ini ditentukan oleh seorang Kapten dan seorang Mayor.". Kalimat yang dibuat sedramatis mungkin, untuk membuat Luhut percaya.
Luhut tidak percaya begitu saja dengan Prabowo, karena justru L.B Moerdani adalah sosok yang berpeluang besar untuk menjadi Menhankam/Panglima ABRI. Luhut pun mengamankan senjata anggota di markas Detasemen dan kemudian menghadap ke Sintong. Luhut tak mau bergerak sekonyol itu tanpa perintah atasan.
Luhut bersama Sintong pun akhirnya menyelidiki isu ini hingga ke Istana. Dan tidak terbukti. Luhut tidak memberi restu, yang akhirnya Prabowo ngamuk karena merasa tidak dipercaya. Luhut pun memanggil Prabowo dan menjelaskan posisi atasan dan bawahan.
Operasi hoax pun gagal. Benny Moerdani pun tak terbukti hingga saat ini pernah melakukan percobaan kudeta.
Kebohongan penting Prabowo kedua ada di dalam buku mantan Presiden BJ. Habibie: "Detik-detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi". Dibuku itu Habibie bercerita bagaimana kondisi internal TNI selepas Soeharto lengser.
Kala itu, Jendral Wiranto yang baru ditunjuk oleh Habibie sebagai Panglima ABRI langsung melaporkan adanya konsentrasi pasukan Kostrad dibawah komando Pangkostrad Letjend Prabowo yang diluar perintah Panglima. Konsentrasi pasukan seperti itu bisa dikategorikan sebagai upaya kudeta.
Prabowo dicopot, Mayjen Djamari Chaniago didapuk menjadi Pangkostrad baru keesokan harinya. Letjen Johny Lumintang menjadi Pangkostrad sementara. Selama masa pimpinan sementara itu Prabowo minta bertemu dengan Habibie.
Prabowo datang ke Wisma Negara tanpa senjata. Disitu Habibie menjelaskan alasan kenapa Prabowo di ganti.
"Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda diganti," Â begitu ucapan Habibie. Namun bagi kesatuan TNI, diganti dari jabatan strategis sama saja dipecat, harus ada alasan khusus.
Habibie pun bercerita adanya laporan dari Wiranto dan upaya ancaman makar. Prabowo berdalih bahwa pengerahan pasukan adalah dalam rangka mengamankan Presiden. Padahal pengamanan Presiden masuk dalam protap Paspampres yang bertanggung jawab langsung kepada Pangab.
Bahkan dibuku itu tertulis bahwa dengan nada marah Prabowo berkata: "Presiden apa Anda? Anda naif,".
"Masa bodoh, saya presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara yang sangat memprihatinkan," jawab Habibie.
Prabowo pun memohon agar jabatannya diperpanjang. Dari tiga bulan, hingga akhirnya tiga hari. Namun semua tidak disetujui oleh Habibie. Bagi Habibie, sekali hox maka tiada lagi ruang untuk bisa di percaya, meskipun hanya sesaat.
Alasan hoax tentara Kostrad ingin mengamankan Presiden pun gagal. Habibie adalah sosok yang logis, beliau lebih percaya laporan yang valid dari sumber valid. Bukan laporan bombastis.
Jadi sangat wajar jika lawan terberat Jokowi saat ini bukan Prabowo, melainkan hoax dan fitnah yang sengaja diciptakan untuk menghancurkan nama baik.
Jadi, kita jangan 'gumunan' jika banyak sekali hoax yang beredar. Hoax yang semuanya menyasar pada pemerintah, bahkan usaha delegitimasi Pemilu dengan penyebaran hoax 80 juta suara di dalam 7 kontainer.
Hoax dibutuhkan dalam militer, tujuannya untuk mengelabuhi musuh atau memperlemah lawan. Tapi ketika hoax di bawa ke politik, itu bencana. Siapa yang mau dikelabuhi? Rakyat?
Hoax yang saat ini beredar adalah hoax by design. Oleh sosok yang lengket dengan isu hoax, oleh sosok yang paham gerakan hoax, bahkan ketika dirinya ikut menyebarkan hoax tentang Ratna Sarumpaet, dirinya bisa mengelak bahwa dirinya ikut dibohongi oleh Ratna.
Ya, sosok itu paham, kapan strategi masuk, dan kapan strategi keluar alias "exit strategy". Jadi, jangan ikut-ikutan. Ketika kita yang awam tidak pernah paham apa itu "exit strategy", Â bisa-bisa kita terjebak didalamnya.Â
Lalu ikut musnah digulung ombak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H