Kadir geleng-geleng sambil berpikir dalam hati,Â
"Sudah dua orang yang mengatakan Kuda ku ini Keledai, mereka yang gila atau..ah tidak, jelas ini Kuda".
Di perempatan jalan Kadir bertemu perampok ketiga, sang perampok menegur Kadir dan mengucap hal yang sama.Â
"Aduh kisanak, Keledaimu tak mungkin laku di kota, di kota itu carinya Kuda, bukan Keledai, jika Keledai, di depan sana ada pedangang rotan yang butuh Keledai untuk angkut hasil rotan, kau bisa jual kepadanya" Ujar perampok ketiga.
Kadir pun bimbang, semua orang berkata itu Keledai, hingga sampailah ia kepada bos perampok yang menyamar sebagai pedagang rotan.
"Hai kisanak, aku butuh hewan pengangkut rotan ku ke kota, maukah kau jual Keledaimu seharga sekian dan sekian?" Tanya si bos perampok.
Kadir yang bimbang akhirnya termakan rayuan manis si bos perampok, khawatir Kudanya tak laku di kota karena ternyata itu Keledai, Kadir pun menjual Kudanya ke bos perampok. Di jaman dulu, harga Keledai seperlima dari harga Kuda.Â
Bos perampok girang, Kuda hasil tipu-tipu berhasil dijual dengan harga tinggi di Kota.
Itulah contoh bahwa kebohongan yang berulang akan menghasilkan suatu pembenaran. Dan untuk itu, kebohongan tidak bisa dilakukan sekali dan seorang, namun berkali-kali dan dengan banyak orang ~Hitler, Mein Kampf.
Sama yang kita temukan di sosial media saat ini. Berita hoax disebar di segala lini masa untuk menyentuh "croc brain" manusia. Manusia sejatinya memiliki sifat penakut yang akut. Dan itu wajar. Namun kewajaran itulah yang di jejali oleh beragam konten hoax yang menyerang sisi ketakutan manusia.
Kita takut, disaat kita takut kita tidak bisa lagi berpikir jernih, atau bertabayun. Pikiran kita di hancurkan dengan sistem yang terpola. Destruktif cognitif. Pikiran kita dirusak oleh beragam berita bohong yang dikemas dengan cantik. Ketika sudah "in", kita tidak lagi tahu mana kebenaran dan kebohongan.