Stalingrad, Desember 1942. Erwin Krook, Wehrmacht muda Nazi yang bertugas di area logistik untuk memasok makanan bagi para tentara, berjalan tertatih ke arah gudang makanan dengan tubuh menggigil.
Suhu udara saat itu mencapai minus 30 derajat celcius. Erwin dan tentara lainnya, hanya mengenakan dua jaket Nazi ditubuhnya, yang satu bawaan kesatuan, yang satu mengambil dari mayat tentara Jerman yang tewas. Tak ada persiapan jaket tebal khas Eropa Timur di antara tumpukan logistik Jerman.Â
Sesampai di gudang makanan, Erwin terkejut karena hanya tersisa sedikit roti gandum dan beberapa kilo daging kering yang tidak mencukupi untuk peperangan seminggu kedepan. Daging lebih banyak dikonsumsi oleh Heer karena musim dingin telah datang, dan musim dingin di Russia kali ini sungguh berbeda. Ini musim dingin ekstrim.
Sementara Heer (Angkatan Darat Jerman) banyak terkulai lemas di pojokan runtuhan gedung dan bunker buatan. Banyak pula yang bergumam tak jelas, marah-marah, bahkan menembak rekannya sendiri karena "bisikan di kepala".
Hipotermia menyerang banyak Heer Jerman di Stalingrad kala itu.Â
Sore hari dipertengahan Desember 1942, Erwin Krook melihat dengan mata kepala sendiri Tentara Merah mulai masuk ke kota yang sudah hancur ini. Ternyata Tentara Merah telah berhasil mengalahkan pasukan Italia, Rumania dan Hongaria sebagai pelindung Tentara ke-6 Jerman lewat Operasi Uranus. Akibatnya tentara Jerman di Stalingrad terkepung.
Habis-habisan Tentara Merah Uni Soviet membombardir Tentara Jerman. Tanpa pasokan makanan yang cukup, dingin yang ekstrim, sulitnya medan akibat salju dan kelelahan akibat invasi ke Ukraina sebelumnya (dimana ini akibat sifat Hitler yang grusa-grusu), membuat Jerman akhirnya bertekuk lutut Februari 1943.
Erwin Krook tertangkap ketika melarikan diri ke perbatasan bersama ratusan tentara Jerman lainnya. Mereka tertangkap karena tidak bisa lari lebih kencang lagi, kelaparan dan dingin membuat segalanya sirna.
Bendera putih dikibarkan oleh Jenderal Karl Stecker. Jerman kalah telak. Dan kemenangan Uni Soviet mempertahankan diri di Stalingrad merubah peta Perang Dunia ke-II selamanya.
Apapun itu Stalingrad adalah basis kekuatan Uni Soviet, karena Stalingrad adalah pintu masuk Jerman untuk menguasai ladang minyak Soviet di Kaukasus. Soviet pasti habis-habisan bertahan disana.
Sama dengan taktik Gerindra untuk memindahkan basis kekuatan ke Jawa Tengah. Nyaris sama dengan taktik kalap ala Hitler untuk menginvasi Soviet via Stalingrad, alih-alih via Terusan Suez di jalur Selatan (Libya, Mesir, Palestina, Irak, Kaukasus) yang secara matematis lebih logis untuk dijalani.
Jawa adalah Koentji. Begitu kata DN Aidit dalam pidatonya, menunjukkan obsesi Partai Komunis untuk berkuasa di Jawa. Aidit terlalu berambisi hingga melupakan bahwa Jawa, adalah basis Nahdliyin dan Masyumi sejak 1930. Sehingga muncul frasa "Palu Arit di Ladang NU".
Ketika Komunis goyang, maka sangat mudah bagi NU untuk menggulung PKI dengan pembentukan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu). PKI tidak punya basis massa yang militan di Jawa, semu.
Meskipun ibukota pindah pun, Jawa (utamanya Tengah) tetaplah Koentji. Bisa menaklukkan Jawa, berarti bisa "menguasai suara" Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, 65% suara.Â
Namun menguasai Jawa, adalah pekerjaan rumah jangka panjang.
Menghajar pusat kekuatan dalam waktu pendek adalah pekerjaan beresiko. Seperti Jerman dan PKI yang berhasrat menguasai pusat kekuatan dalam waktu singkat, hasilnya? Jerman dan PKI babak belur.
Bahkan lebih dari itu, sejarah Jerman dan PKI berubah total akibat kegagalan tersebut. Bagi Gerindra yang butuh nafas panjang untuk stabil hingga 2024, gerakan invasi Jawa Tengah adalah pertaruhan politik "Harakiri".
Butuh strategi menembus benteng dengan sumber daya besar, sehingga biaya akan membengkak, medan yang tak tentu dan tentunya perlawanan dari pemilik lahan.
Untuk oposisi yang justru menggalang dana dari masyarakat, invasi ini tampak konyol.
Jawa Barat, Tengah dan Timur sudah memiliki pemimpin daerah dengan tujuan yang sama, meskipun dari partai berbeda: Memenangkan Jokowi. Sehingga Jawa (Tengah) saat ini bukan lagi basis PDIP, tapi basis Jokowi.
Apalagi melihat pola Jokowi yang santai seperti saat ini, mengingatkan saya akan Dwight Eisenhower yang masih bisa menikmati kopi ketika Operasi Overlord di Normandia nyaris gagal.
Dalam perang jangka pendek, ketenangan adalah hal paling mematikan. Pola Jokowi saat ini adalah " mencekik leher dengan kapas".
Jika Gerindra tetap melakukan invasi ke Jawa Tengah, saya khawatir Jokowi dalam waktu singkat akan merubah pola, melakukan serangan kilat, masif dan terstruktur. Blitzkrieg.
Blitzkrieg efektif jika didukung dengan sumber daya yang kuat. Dan dengan basis massa yang telah bercokol sebelumnya, lebih mudah bagi Jokowi menggerakkan relawan di Jawa Tengah untuk memblokade invasi Gerindra. Dukungan bukan hanya relawan, tapi juga partai.
Misal, membuat spanduk di atas spanduk milik Gerindra, atau memenuhi area markas dengan poster dan spanduk Capres/Cawapres No. 01. Membuat acara sunatan massal atau pengarahan massa di seluruh Jawa Tengah.
Langkah pertama Blitzkrieg ialah menutup segala akses bagi oposisi untuk bernafas, secuil apapun.
Relawan Jokowi harus mampu untuk turun ke tingkat terendah masyarakat, karena inilah yang akan menjadi manuver Gerindra di Jawa. Jokowi tinggal me-maintain, membina dan menggerakkan kembali roda dukungan, jangan dibiarkan berhenti.
Kemarin, Jokowi bermanuver dengan memberi contoh yang simpatik nan kekeluargan di acara Mata Najwa, tepat sesaat setelah blunder oposisi dalam ber-orasi. Permainan timing seperti inilah yang harus bisa diikuti para relawan.Â
Itu memang soal remeh. Tapi di waktu sempit, detail yang remeh menjadi teramat penting. Yang jadi pertanyaan, jika Jawa adalah Koentji, maka di mana pintunya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H