Jawa adalah Koentji. Begitu kata DN Aidit dalam pidatonya, menunjukkan obsesi Partai Komunis untuk berkuasa di Jawa. Aidit terlalu berambisi hingga melupakan bahwa Jawa, adalah basis Nahdliyin dan Masyumi sejak 1930. Sehingga muncul frasa "Palu Arit di Ladang NU".
Ketika Komunis goyang, maka sangat mudah bagi NU untuk menggulung PKI dengan pembentukan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu). PKI tidak punya basis massa yang militan di Jawa, semu.
Meskipun ibukota pindah pun, Jawa (utamanya Tengah) tetaplah Koentji. Bisa menaklukkan Jawa, berarti bisa "menguasai suara" Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, 65% suara.Â
Namun menguasai Jawa, adalah pekerjaan rumah jangka panjang.
Menghajar pusat kekuatan dalam waktu pendek adalah pekerjaan beresiko. Seperti Jerman dan PKI yang berhasrat menguasai pusat kekuatan dalam waktu singkat, hasilnya? Jerman dan PKI babak belur.
Bahkan lebih dari itu, sejarah Jerman dan PKI berubah total akibat kegagalan tersebut. Bagi Gerindra yang butuh nafas panjang untuk stabil hingga 2024, gerakan invasi Jawa Tengah adalah pertaruhan politik "Harakiri".
Butuh strategi menembus benteng dengan sumber daya besar, sehingga biaya akan membengkak, medan yang tak tentu dan tentunya perlawanan dari pemilik lahan.
Untuk oposisi yang justru menggalang dana dari masyarakat, invasi ini tampak konyol.
Jawa Barat, Tengah dan Timur sudah memiliki pemimpin daerah dengan tujuan yang sama, meskipun dari partai berbeda: Memenangkan Jokowi. Sehingga Jawa (Tengah) saat ini bukan lagi basis PDIP, tapi basis Jokowi.
Apalagi melihat pola Jokowi yang santai seperti saat ini, mengingatkan saya akan Dwight Eisenhower yang masih bisa menikmati kopi ketika Operasi Overlord di Normandia nyaris gagal.
Dalam perang jangka pendek, ketenangan adalah hal paling mematikan. Pola Jokowi saat ini adalah " mencekik leher dengan kapas".