Yang terbawah adalah bubur putih, jumlahnya banyak namun rapuh. Itu menandakan rakyat. Mudah dibodohi apalagi dengan hoaks. Tapi tanpa bubur, apalah namanya bubur ayam. Begitulah Negara, serapuh-rapuhnya rakyat, tanpa rakyat tidak akan ada Negara.
Kasta kedua adalah uba rampe kacang kedele, cakwe, bawang goreng dan tentunya ayam. Ini adalah kasta pengusaha. Ayam penting dalam mengelola rasa dan gizi. Dan diantara toping bubur, ayamlah yang harganya paling mahal.
Yang teratas adalah emping atau krupuk. Ini adalah kasta pemerintah termasuk legislatif. Nikmat, berisik, namun sebenarnya rapuh seperti krupuk.
Yang terakhir adalah kuah kaldu, kecap dan sambal. Ini ibarat undang-undang, menyerap kedalam bubur dan segala isinya. Menentukan rasa.
Bagi penikmat bubur ayam pisah, kasta harus dijaga, demi keseimbangan dan estetika. Mereka bersinergi masuk kedalam mulut namun tidak saling bercampur baur.
Maka, bisa disimpulkan, penikmat bubur ayam pisah adalah orang yang teratur, harmonis dalam keselarasan, metodis, suka dengan perencanaan.
Bubur Ayam Campur
Bubur ayam campur adalah tingkat tertinggi dalam filsafat. Bahkan sudah menyentuh ranah Ma'rifat. Ibarat Negara, bubur ayam campur adalah ketika Negara hadir ditengah rakyatnya.
Bercampur baur, saling merasakan satu sama lain, saling berinteraksi tanpa ada batas. Seperti kita yang sedang berdoa dan menghadirkan sosok "Tuhan" di hadapan kita. Kita merasa tengah berdialog dengan Tuhan. Ya, tanpa ada batas. Kita tidak lagi terbelenggu dalam rutinitas nir rasa.
Bubur ayam campur mencerminkan bagaimana manusia merasa dimanusiakan. Hadirnya Negara di tengah rakyatnya membuat rakyat merasa di ayomi, ada penguat. Tidak penting Presiden tidur di tenda asal bisa merasa jadi rakyat. Satu hal: Rasa.
Untuk bisa membaur dan merasa, kita perlu melepas segala atribut kepantasan, pangkat, jabatan, kekayaan dan gengsi. Asal bukan celana dan sarung.