"Sekarang Indomie yang ada rendangnya, habis makan Indomie lalu kamu makan rendangnya"
Gudel manut lagi, kali ini wajahnya mengerenyit.
"Gimana rasanya, del?"
"Anu pak Yai, agak aneh. Yang satu rasa Indomie yang satu rasa rendang santen, aneh pak Yai"
"He he he..sekarang kamu buat lagi indomie, satu saja, yang rasa rendang, mbak mu punya di dapurnya, ayo sana"
Gudel pun kembali ke dapur, sambil tetap bertanya-tanya. Sepuluh menit kemudian indomie rasa rendang sudah tersedia.
"Nah, coba dicicipi.."
Gudel pun mencicipi indomie rasa rendang tersebut, matanya mendelik, ternyata enak juga. Pikir dia.
"Enak pak Yai, beda dengan jika dipisah"
"He he he, nah itulah. Anggap indomie mu ini adalah agama, dan rendang adalah demokrasi negara. Jika dipisah-pisah rasanya pasti tidak enak, namun jika digabung dengan porsi yang pas, ya enak, bentuknya tetap, indomie"
"Itulah istilahmu tadi, post-islamisme, Islam tetap menjadi dasar diri, hasil nyantri, hasil tirakat, tapi mulai menangkap era demokrasi, era modern, mulai berpolitik malah punya cicilan di bank, kompromi, tapi entitas Islamnya sudah baku, disini ramuan mu harus pas, kalo tidak kamu keblinger"