Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Masih Layakkah Premium Dipertahankan?

29 Agustus 2017   11:11 Diperbarui: 7 November 2017   15:16 5741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu saya kedatangan seorang kawan lama di Doha dulu, yang sedang berlibur ke Indonesia atas hasutan saya dengan memastikan kondisi Indonesia 100% aman untuk dikunjungi. Satu orang berkebangsaan Oman dan satunya lagi berkebangsaan Inggris.

Mereka berdua adalah kali pertama datang ke Indonesia, banyak yang menarik dari mereka (saya ceritakan lain kali), tapi yang paling menggelitik bagi saya adalah kekagetan mereka ketika saya ajak isi bensin. Di POM bensin kita tertulis empat pilihan: Pertamax Plus, Pertamax, Pertalite dan Premium. Mereka pun bertanya arti ketiganya, saya jelaskan bahwa ketiganya dibedakan berdasarkan tingkat oktannya.

Mereka tidak kaget ketika saya jelaskan Pertamax Plus dan Pertamax, tapi wajah mereka berkerut heran ketika saya jelaskan oktan Pertalite yang tergolong RON (Researh Octane Number) 90. Padahal belum saya jelaskan tentang fenomena emak-emak naik motor matik lho.

"What? Kalian jual RON 90?"

"Iya, RON 90 masih okelah."

"Oke apanya dude, di sini (Jakarta-red) banyak sliweran mobil mewah, gak kehitung deh tadi saya liat beberapa jumlah Fortuner, Camry, Mercedes bahkan Wrangler, dan kalian masih jual RON 90?"

"Lha terus yang Premium itu jenis apa? Pertamax Turbo?" Si English nyambung.

"Enggak, Premium itu RON 88."

Mereka mendadak heran. Bukan apa-apa, kami di Qatar bekerja di pengolahan minyak, bahkan Si Oman bekerja sebagai operator pengolahan kilang, jadi dia sangat tahu proses dari mulai distilasi hingga blending. Jadi, ada alasan kuat kenapa dahi mereka berkerut heran. Heran karena pemerintah masih juga menjual bensin RON 88 yang kualitasnya jauh di bawah berbanding banyaknya mobil dan motor keluaran tahun 2005 ke atas yang bersliweran.

"Kalian ini kayak negara miskin aja."

"Ya memang masih banyak rakyat miskin, Bos"

"Ya tapi gak juga lah, beda. Saya pernah tugas ke beberapa negara miskin di Afrika seperti Zimbabwe, Namibia hingga Togo, bahkan di sanapun sudah pakai RON 92, istilahnya bensin super. Lha ini, Indonesia, BMW sama Mercy di mana-mana, bus aja pake Toyota, motor udah mirip semut, karoseri lokal bisa dihitung jari, eh pakainya malah 88, gak sayang mesin bos?" Ujar Si Inggris yang masih saja bermimik heran.

Yup, saya pun hanya bisa mesem, tersenyum kecut, bukan karena saya tak berkompeten menjawab, tapi saya memang tak bisa menjawab. Faktanya RON 88 memang jauh kualitas dengan RON 92 atau bahkan RON 90, itu fakta. Rakyat masih memakai Premium karena gap harga antara Pertamax dengan Premium yang disubsidi pemerintah itu jauh, bukan karena memang mereka ingin memakai Premium, bukan itu. Jika ada kualitas yang lebih baik dengan harga terjangkau, mereka pasti beralih.

Dan persis dua minggu lalu, saya baru saja meng-update status di sosial media tentang penggunaan Pertalite yang menggembirakan, dan eh ternyata saya mendapati komentar seperti ini:

"Penghapusan Premium secara diam-diam itu adalah bentuk kezhaliman pemerintah, bentuk kesewenangan Pertamina sebagai pemegang amanah kedaulatan rakyat, seperti pasal..dst...dst.."

Saya paham, zhalim lagi nge-hitz, bahkan mengusir kucing kawin pun dibilang zhalim. Tapi duh, miris rasanya. Saya coba menarik nafas dalam dan kemudian seruput kopi.

Gini gaes, saya coba melakukan beberapa wawancara dengan beberapa anak muda geng motor, kenapa geng motor? Karena geng seperti ini biasanya sangat peduli dengan oktan meskipun tak peduli dengan nyawa, tapi toh apa peduli saya.

Mereka semua kompak lebih memilih Pertalite dengan RON 90 ketimbang Premium, bahkan tak jarang mengisi bensin dengan Pertamax meskipun makan mereka harus ngirit. Kenapa? Pertama, performance motor terasa lebih yahud, motor yang tadinya sering knocking (menggelitik) jadi jarang knocking dan kedua, nyatanya memang lebih irit. Untuk urusan irit, ini fakta gaes, coba lihat ini:

Sumber: Pertamina
Sumber: Pertamina
Pemakaian Pertalite rata-rata bisa menghasilkan pengiritan 1 Km per liter, dan memang sudah dirasakan sendiri, untuk mobil yang biasanya isi bensin 3 hari sekali, sekarang menjadi 4 hari sekali. Satu hari itu kerasa lho kalau kalian bawa kendaraan setiap hari.

Jadi, berkurangnya produk Premium di kancah persilatan BBM Indonesia bukan karena pemerintah dan Pertamina yang zhalim, tapi karena hadirnya Pertalite sudah menjadi obat kerinduan masyarakat terhadap kualitas oktan yang lebih tinggi tapi dengan harga yang terjangkau.

Ini seharusnya diapresiasi, pemerintah dan Pertamina sudah membangun "jembatan" untuk bensin yang baik bagi kendaraan tapi juga ramah di kantong, dan memotong subsidi Premium untuk pembangunan infrastruktur dan lainnya.

Jadi, kalau Premium berkurang di pasaran, ya memang karena pengguna BBM sudah banyak beralih ke Pertalite, ini fakta lho, gaya hidup sudah berubah, masyarakat sudah paham mana bensin yang lebih baik dan tentunya ramah lingkungan. Jika dunia sudah tidak lagi menjual Premium, lalu Indonesia masih, mau dikata apa? Ini lagi-lagi fakta.

Sumber: Pertamina
Sumber: Pertamina
Simpel saja, Premium sudah mulai ditinggalkan, lalu untuk apa Pertamina masih memproduksi Premium seperti biasanya? Apapun itu, Pertamina adalah sebuah korporasi yang bergantung hidupnya dari bisnis. Demand berkurang, ya supply pun dikurangi, untuk apa membuang duit di produksi yang permintaannya berkurang?

Ya, gaya hidup sudah berubah, orang sudah tidak lagi menganggap yang murah itu adalah selalu baik, edukasi ilmiah terutama soal pemakaian energi sedikit banyak sudah terserap masyarakat, karena apa? Karena merasakan sendiri bedanya. Dan sekarang bagi Anda, masih zhalim-kah pemerintah? Pasti anda belum ngopi.

Hanya saja, tidak mungkin Pertamina dan pemerintah begitu saja menghapus Premium. Bagaimanapun juga, Premium masih dibutuhkan untuk menjangkau masyarakat yang betul-betul miskin. Bahkan kalau perlu, membeli Premium harus dengan Kartu Perlindungan Sosial dan Surat Keterangan Miskin, untuk menjamin subsidi Pemerintah jatuh ke tangan yang berhak.

Lalu selanjutnya apa?

Simpel saja, menjamin. Menjamin ketahanan energi, sumber daya dan tentunya menjamin kebutuhan BBM satu harga di Nusantara. Ini sulit? Ya jelas, kalau gampang ya Pemerintah enggak bakal dihujat.

Ketahanan energi sudah enggak bisa lagi berbicara soal migas, apalagi mengandalkan energi fosil konvensional seperti minyak bumi. Dunia sudah bergerak ke arah energi baru terbarukan.

Pembangkit listrik sudah mengembangkan teknologi ke arah Bioethanol yang bahan utamanya dari sorgum, ubi atau jagung, bahkan dulu para Mahasiswa pernah mengembangkan biodiesel berbahan dasar minyak atsiri, sayang sekali dulu pemerintah tidak terlalu agresif menyambut.

Dan yang hits saat ini adalah solar cell (energi tenaga surya), eh tapi itu butuh elaborasi lebih lanjut, lain waktu akan saya tulis, sementara ini saya mau ngejemur baju dulu ya, mumpung energi tenaga surya sedang berlimpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun