Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memang Ilmu Agama Kalian Setinggi Apa Sih?

28 Agustus 2017   07:54 Diperbarui: 28 Agustus 2017   16:22 2573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gini..

Perang wacana antara dua filsuf besar tidak diakhiri dengan kalimat "pembunuhan karakter" antar keduanya. Bayangkan jika dalam keadaan terpojok, lalu Ibnu Rusyd berkata "Duh le.. hambok ya kamu belajar agama lagi sana...". Dipastikan detik itu juga para filsuf pendukung Imam Al Ghazali (karena Imam Al Ghazali sendiri sudah meninggal) akan lepas celana dan pulang kampung saking malunya, malu sama Ibnu Rusyd yang jauh dari sifat intelektual yang terbuka. Tapi Alhamdulillah, mereka memang kalangan intelektual agama yang tulen.

Dalam sebuah perbedaan wacana, adalah sebuah keniscayaan jika saling beradu argumen, beradu tulisan, bolak balik ide dan menggodok pemikiran, dalam diskusi ataupun debat, tidak dicari sebuah pembenaran dari kalah atau menang. Toh dua pemikiran antara Al Ghazali dan Ibnu Rusyd keduanya tetap dipakai oleh filsuf Islam masa kini.

Contoh lain, coba bayangkan jika Bung Karno tidak sering berdebat panjang dengan Kartosuwiryo atau Semaun di kos-kosan HOS Tjokroaminoto, mungkin Bung Karno tidak akan pernah menemukan esensi Pancasila yang berbasis pada keragaman.

Jika pada debat itu lantas Kartosuwiryo berkata "No, Karno..kamu belajar lagi sana", bisa dipastikan pula Bung Karno malas melayani diskusi lebih lanjut, lebih baik ngopi atau cabut pacaran.

Lalu apa pointnya? Kerendahan hati adalah KOENTJI. Tidak ada satu pihak pun yang merasa lebih benar dari yang lain. Apalagi berani mengkafirkan. Nah ini..belum selesai disitu, ada point kedua yang diambil dari debat antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd, yaitu kehati-hatian. Al Ghazali merubah istilah kufarat yang dipakai sebelumnya menjadi bid'ah atau tidak sesuai.

Al Ghazali, dengan ilmunya yang mumpuni, memilih dengan hati-hati pemakaian kalimat didalam buku dan literaturnya, karena kufarat mengandung arti kafir atau keluar dari Islam, itu berat. Dan apabila itu ditujukan kepada para filsuf yang juga pemikir Islam -baik masa sebelum maupun sesudahnya- malah akan menjadi masalah panjang, dianggap tuduhan.

Dan disaat ini, mungkin apa yang dipelajari para jamaah reliji itu benar, namun mungkin (mungkin lho yaa..) karena demo nomor cantik yang sukses besar, menjadikan mereka merasa ilmu agamanya sudah setinggi menara Burj Khalifa, mereka jadi ahli agama dadakan, dan "Belajar agama lagi sana" menjadi kalimat hits yang siap menerkam saudaranya dengan arti yang kira-kira...yaah...."Kamu gobl*k banget sih".

-Jogja, di sepertiga lintingan tembakau.

*

Tulisan dipublish di blog pribadi,disini dandisini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun