Tak sulit, peraturan dipegang pemerintah yang notabenenya ‘dekat’ dengan mereka sejak puluhan tahun. Sudah bukan rahasia umum di zaman Orba, jika mau sukses ya dekatlah dengan pemerintah, apalagi soal trayek. Apakah itu sudah berubah di zaman ini? Soal kedekatan saya rasa tak banyak berubah, namanya pengusaha, siapapun yang berkuasa mereka pasti mendekat. Itu aturan tak tertulis.
Jadi saya tak heran jika akhirnya tarif online berbasis jaringan (daring) yang disesuaikan mendekati tarif konvensional, bukan sebaliknya. Harapannya, konsumen akan berpikir ulang soal tarif, dan beralih ke armada konvensional. Point kedua ini yang jujur harus saya katakan “mustahil” untuk di capai. Sekali lagi..Mustahil.
Transportasi online sudah berdampak cukup personal dalam hal kepraktisan, kecepatan dan bahkan keamanan. Suatu hal yang sulit didapat ketika zaman konvensional. Solusi terbaik adalah bersinergi, seperti yang pernah saya tulis soal Blue Bird dan Gojek disini.
Ketauhilah para pengusaha, bahwa ketika kalian memulai bisnis angkot, bus atau taksi, berapa ratus pekerja becak dan delman yang tergusur?
Kenapa? Karena kendaraan bermotor menjanjikan hal yang diimpikan ketika itu: Kecepatan dan kepraktisan. Sekarang transport online menjanjikan hal yang sama, pengembangan impian masa awal bisnis Engkong dan Babe dulu. Lebih cepat, lebih praktis, dan lebih aman.
Jadi meskipun tarif secara kalkulasi lebih mahal atau beda tipis, konsumen tidak akan banyak berubah, sistem online akan survive. Konsumen adalah raja, mereka menentukan segalanya, konsumen ialah penentu pasar, siapa pemenang, siapa pecundang.
Sama halnya dengan toko offline yang terganggu oleh menjamurnya toko online, seperti yang diungkap oleh Sekretaris Jenderal Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) Haryanto Pratantara, bahwa konsep toko online awalnya hanya soal kemudahan konsumen dalam belanja, bukan soal harga murah.
Beliau lupa bahwa konsep online mampu memotong segala tetek bengek direct cost, diantaranya transportasi, sewa lapak dan tentunya “bagi hasil” preman setempat. Konsumen pun diuntungkan, harga lebih murah, praktis dan cepat.
Jadi Beh, Ngkong, mending bisnis angkot sama lapak toko mulai diserahin deh tuh langsung ke anak cucu, mereka adalah generasi Z atau milenial, generasi yang otaknya sanggup untuk berpikir rumit, masih anget soal improvisasi dan tentunya mau bergerak dan bekerja. Kita ngerti Engkong dan Babe dah capek ngurus ginian..
Sekedar sharing, kami pun punya toko offline dan kebetulan sering beli barang di sebuah toko di Mangga Dua, si pemilik toko itu ternyata juga membuka lapak online di instagram, demikian juga kami. Bahkan pemilik pijat refleksi di depan perumahan kami pun mengaku kalau sudah bekerja sama dengan Gojek di servis Go-Massage, dengan alasan semata-mata untuk pengembangan bisnis. Jadi apa masalahnya?
Berulang kali saya katakan..This is not about technology, that is about you..