Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

212, Payung Pak Presiden dan Strategi SunTzu

3 Desember 2016   00:07 Diperbarui: 3 Desember 2016   18:38 28837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alit Ambara @alit_ambara

Aksi 212 baru saja selesai. Semua sesuai dengan tujuan "orisinil" semula, yaitu aksi damai dan ibadah sholat Jumat bersama. Tidak ada hal paling menarik di saat itu kecuali tiga hal: Kekuatan Islam mayoritas yang ternyata sangat dahsyat, strategi ambil alih panggung ala Presiden dan tentunya payung Presiden yang menjadi trending topic.

Kekuatan keimanan yang dahsyat ternyata mampu mengumpulkan massa jutaan yang dirangkum dari berbagai daerah. Jika 411 saya masih yakin akan penunggangnya, maka di 212 ini dalam kondisi "steril". Jika toh masih ada "tentara bayaran" maka saya yakin hanya segelintir. Intelijen sudah bergerak untuk sterilisasi.

Sterilisasi dimulai sejak Kapolri Tito Karnavian yang dengan cantiknya memainkan perannya. Dengan pendekatan yang manusiawi dan tegas, beliau menginstruksikan pemusatan massa terjadi di Monas, apakah memang betul beliau yakin bahwa hanya 200 ribu orang peserta sesuai ucapannya? Tentu tidak, yang diyakini adalah sebaliknya. 4 jutaan orang yang hadir itu sudah diprediksi. 

Kok bisa? Yang simpel saja. Sudah beredar broadcast massage di WA grup tiga hari yang lalu soal penggalangan dana konsumsi untuk aksi 212 yang langsung direspons positif, bahkan salah satu panitia mengatakan ada dana dua juta rupiah dari Batam yang membuat semangat. Apa mereka pikir media sosial mereka tidak bisa dilacak? Plis deh. Itu kelas bulu. Terus yang informasi kelas berat? Ya pikirkan saja sendiri.

Jadi, Kapolri memang sudah memprediksi, alur aksi ini sangat teratur, rapi, dan terorganisasi. Aksi dipusatkan di Monas yang apabila membeludak, pastilah meluber ke Bundaran BI, terlihat dari drone dan foto bird eye. Formasi ini memudahkan kepolisian yang terkonsentrasi di ring 1, yang apabila terjadi chaos, massa yang tentu berjalan lambat akibat berdesakan akan digiring menuju arah Sarinah/Tanah Abang, tidak mungkin chaos di Monas karena dibatasi pagar tinggi-tinggi, itu namanya bunuh diri massal. Sarinah, di mana areanya lebih terbuka, membuat massa dan Brimob plus TNI akan head to head. Jika seperti itu, kendali ada di kepolisian dan TNI yang menguasai medan laga per inch. Atau Tanah Abang, di mana medan justru lebih sulit bagi massa untuk bergerak leluasa, bisa menjadi bumerang. Tapi untungnya tidak terjadi.

Kenapa tidak terjadi konflik sama sekali? Karena sejak malam di tanggal 4/11 lalu, Presiden sudah memainkan perannya. Strategi Sun Tzu nomor 26: Lihat pada pohon murbei dan ganggu ulatnya, yang artinya gunakan analogi atau sindiran untuk mengontrol atau mengingatkan suatu pihak. Dengan sindiran, pihak yang berlawanan tidak punya alasan langsung untuk memukul balik. 

Kondisi ini menguntungkan. Pertama, lawan biasanya akan belingsatan sendiri, dia akan menunjukkan jati diri tanpa harus capek-capek dikorek, apalagi kalau dia suka terbawa perasaan. Kedua, ini memberi kesempatan Presiden untuk melakukan koalisi ke pihak lain selain lawan yang belingsatan tadi. Pihak lain yang sejatinya lawan juga, akan menjadi tidak enak hati karena didatangi dengan baik, toh Presiden hanya menyebut sindiran "ditunggangi", siapa yang penunggangnya? Who knows. Ini membuat Presiden bebas mau ke mana saja.  

Tapi justru di sinilah tujuan sebenarnya.

Presiden diprediksi sudah mengantongi nama-nama "si penunggang gelap". Dan sebagian besar adalah kroni dari si lawan kedua ini. Lawan pertama mungkin hanya berkepentingan memajukan keturunannya untuk berkuasa, tapi yang kedua ini beda, pengaruhnya luar biasa. Ada diplomasi tingkat tinggi Presiden. Di sini Presiden memakai strategi jawa "Jangan dipangku, tetapi memangku". Artinya, Presiden tidak mau tergantung, Presiden ambil inisiatif dengan mendatangi lawan kedua lebih dahulu. Istilahnya, Presiden menyediakan pahanya untuk memangku. 

Sang lawan kedua pun akhirnya memberikan statement "saya tidak akan jegal Presiden". Sebagai pria sejati, statement ini tentu saja sangat penting. Kenapa sampai ada statement itu? Atau, kenapa "harus" ada statement itu? Jawabannya Anda bisa menebak sendiri.

Itu membuat Presiden bisa melakukan dua langkah, kemungkinan pertama meminta izin kepada sang lawan kedua (bisa ketika makan siang) untuk menangkap aktor-aktor yang dianggap beragenda. Tentu demi kembalinya wibawa Presiden dan NKRI sebagai kedaulatan yang tidak bisa dikacaukan. Kedua, meminta rekan-rekan lawan kedua ini untuk menyingkir dari aksi 212. Dua langkah ini dimainkan dengan cantik oleh Mr President. 10 aktor hari ini ditangkap, 5 diantaranya kelas berat, bahkan mantan Jenderal. Dan 2 rekan karib pergi ke luar negeri.

Efeknya paten, aksi bela Islam menjadi murni bela Islam. Lawan pertama tidak banyak berkoar menjelang aksi, dikarenakan strategi 5 orang aktor sudah digagalkan. Apakah ada kemungkinan lawan pertama memanfaatkan strategi 5 aktor? Bisa jadi, di sini A mendompleng B, B pun mendompleng A. Jelas tertulis di surat yang dirancang oleh Sri Bintang Pamungkas bahwa mereka menginginkan adanya sidang istimewa MPR untuk mengganti Presiden dan Wakil.

So, itu semua steril. Intelijen mengatakan beres dan leluasa bagi Presiden untuk mengambil jatah panggung. Kenapa tidak ketika 411? Itu adalah strategi bersabar: Habiskan energi musuh untuk berkonflik. Jika Presiden tampil di awal, kemungkinan kita tidak akan pernah tahu bahwa Fahri Hamzah mengizinkan peserta demo untuk menginap di gedung MPR/DPR kan? Dengan bersabar, Presiden memiliki waktu untuk mempelajari konflik (management conflict), merancang pidatonya, yang lembut namun mengandung strategi tajam.

Dan kita hari ini, bisa melihat Presiden dengan percaya diri tampil di hadapan massa aksi 212. Pidato yang singkat, namun cukup membuktikan bahwa "Presiden tidak lari". Right man in the right place in the right time. Apakah itu semua kebetulan? Tentu tidak.

Spiral Kebisuan

Saya mengutip penjelasan Hilman Fajrian soal spiral kebisuan. Pada intinya adalah spiral kebisuan adalah teori komunikasi massa yang mengungkapkan pandangan mayoritas terhadap minoritas. Jika Hilman Fajrian membahas persoalan Ahok, saya membawanya kepada Presiden Jokowi. Mayoritas melihat seorang Joko Widodo adalah seorang yang lemah, mudah disetir, ndeso, dan kurang berwibawa (kategori minoritas citra pemimpin negara), kalah jauh dengan Prabowo atau SBY. Tetapi tahukah Anda, justru efek spiral kebisuan ini yang menjadi daya tarik.

Tidak pernah seorang Joko Widodo mengomentari langsung, "Saya prihatin melihat meme-meme di media sosial." Tidak, toh jika UU ITE dijalankan, itu sih sudah sewajarnya. Karena memang kelewatan. Tapi personal Jokowi yang nrimo tadi menjadi daya magis yang kuat. Beliau sangat tahu itu. Presiden tidak perlu meme yang ciamik, tidak perlu suara yang bagus dan pencitraan yang berlebih, sehingga leluasa bagi dia untuk merancang strategi. Pencitraannya hanya kerja nyata dan blusukan yang menjadi kebiasannya.

Tidak ada alasan yang kuat apa pun itu untuk menjatuhkan Presiden. Kerja tetap bekerja, IHSG sedang bagus-bagusnya, infrastruktur berjalan meskipun masalahnya banyak. Seorang haters yang waras pun akan mengakui bahwa tidak ada alasan makar, kecuali berkuasa. Presiden memanfaatkan momen itu, dan ketika beliau tampil pidato, sontak semua media memujinya. Spiral kebisuan yang dipendam lama, seakan dibuat bicara. Presiden ambil panggung.

Spiral kebisuan telah membuat jaket bomber yang dipakai Presiden menjadi trending topic, dan kali ini, sebuah payung yang sepele pun bisa menjadi viral. Padahal payung sejenis itu pun pernah dipakai Pak Mantan bersama mantan ibu negaranya, juga dengan memegang sendiri payungnya. Kenapa itu tidak jadi viral? Simpel, karena Pak Mantan sudah menonjolkan dirinya sendiri dulu, hal-hal yang tampak baik sudah dikeluarkannya tanpa publik meminta sehingga publik pun biasa saja. Tidak ada klimaks, tidak ada yang perlu diviralkan.

Presiden yang dicitrakan kurus dan ndeso, hari ini tampil berani, solat Jumat bersama peserta aksi, yang mana ini jelas membuat kebat-kebit Paspampres. Siapa yang menjamin tidak ada orang gila yang menaruh easy gun di sandal?

Lalu soal penistaan agama, bagaimana? Serahkan saja kepolisian, toh bakal ada persidangan, enggak bakalan lah ente ketinggalan episode. Siapkan popcorn, gorengan dan jangan lupa, kopi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun