Ada apa di tanggal 25 November lalu? Yang pasti bukan hari jomblo nasional. Dan yang pasti banyak yang lupa bahwa di tanggal itu adalah hari guru, bertepatan dengan hari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).
Banyak yang lupa bukan karena tidak tahu, tapi karena adanya pengalihan isu ha..ha. Isu demo, agama dan politik yang tak kunjung habis menjelang akhir 2016.
Guru, dalam hal ini banyak sekali, bukan hanya guru sekolah, tapi juga guru agama, guru musik, bahkan montir yang menjelaskan saya soal mesin pun guru, guru bengkel. Maka untuk itu, izinkan saya untuk menuliskan sebuah memorabilia tentang seorang guru di masa sekolah.
Dahulu zaman SMP, saya pernah dididik oleh seorang guru Matematika terfavorit. Beliau bernama bapak Silalahi, beliau bukan guru biasa, tapi guru yang bisa dibilang nyentrik. Perawakannya kurus, batak abis, cuek, jauh dari kesan rapi dan senantiasa lengket dengan aroma djarum-nya yang kental.
Pak Silay, begitu ia akrab dipanggil, dikenal sosok yang "Killer". Sebuah antitesis penghobi rokok, tapi justru paling keras soal rokok ke murid. Jika ada murid yang tertangkap merokok di tongkrongan, dipastikan nasibnya tak lebih baik dari tersangka penggerebekan hotel melati.
Mereka akan dipanggil satu-persatu ketika upacara bendera. Upacara bendera yang khidmat berubah menjadi arena tontonan humor tragis. Para tersangka disuruh berdiri menghadap tiang bendera, hormat hingga jam istirahat pertama.
Tapi itu belum seberapa, yang paling klimaks dari itu semua adalah, mereka berdiri sambil menghisap rokok, tidak satu, tapi tiga hingga empat batang sekaligus. Mungkin Julis Caesar pun akan mengelus dada. Tak heran, semua murid gentar melihat sosoknya, sebandel apapun.
Kebetulan para saksi hidup kisah "rokok lapangan" masih hidup semua, dan ketika mereka ditanya, serta merta mereka akan berkata "Kami teraniaya", tentu dengan gelak tawa dibelakangnya. Gelak tawa bukan dalam arti meremehkan, tapi justru menjadi memori kami sepanjang masa.
Saya berpikir, untung tindakan itu bukan dilakukan di tahun 2016, jika ya entahlah nasib pak Silay bagaimana. Mungkin dia akan menjadi korban eksploitasi kelas pendidikan yang manja, ditambah sosial media yang selalu unyu-unyu.
Tapi dibalik itu, ada yang mengagumkan. Ada satu-dua biji sel Einstein yang tertinggal dibalik kepalanya yang lonjong, brilian dan cerdas. Sejalan dengan itu, soal-soal yang diberikannya pun selalu soal tingkat dewa, yang bahkan kami pun belum pernah melihatnya. Contohnya begini.
Selepas memberi penjelasan, Pak Silay biasanya selalu menulis sebuah soal yang harus dipecahkan. Itu biasa saja, tapi menjadi tidak biasa apabila tidak ada satupun soal yang bisa kami pecahkan.
Dan tak ada satupun juga dari kami yang bisa memecahkan soal-soalnya, bahkan Tommy, kawan terpandai kami pun takluk dengan soal setan itu.
Hukumannya ada dua, di coret pulpen di pipi, atau berbaris diluar kelas lalu push-up atau lari. Dan saya, adalah salah satu yang selalu mendapat dua hukuman itu, bersamaan.
Begitupula dengan ulangan, soal-soalnya selalu essay sehingga kami harus menulis cara menghitungnya, sependek apapun, tidak bisa dengan kode isyarat jari khas pilkada. Bagi kami, mendapat nilai empat (ya, empat!) adalah suatu anugerah melebihi mendapat senyum manis kakak kelas favorit.
Tak jarang angka telur mengisi kertas ulangan kami, dan penyemangat kami adalah kata-kata mutiara kaum proletar: "dunia tidak berakhir hanya dengan nilai nol"
Apa yang bisa diharapkan dari guru macam begitu, pikirku. Tapi, pertanyaan itu sontak berubah ketika menghadapi ulangan sesungguhnya, test kenaikan caturwulan. Soal-soal matematika tadi menjadi begitu mudah, hanya seujung jari dibanding soal yang diberikan Pak Silay sehari-hari.
Dan bisa ditebak, kelas-kelas yang di ajar oleh pak Silay menjadi kelas dengan nilai matematika tertinggi. Ini rupanya strategi kelas wahid dari guru nyentrik nan menyebalkan tersebut.
Kami terbiasa mengerjakan soal yang rumit, soal yang membutuhkan ketelitian dan kemahiran berbagai macam rumus plus tekanan kerja yang tinggi (deg-degan!). Tentu saja, terbiasa melawan Singa, menjadi mudah untuk melawan anak macan.
So, tidak ada nilai merah dalam satu kelas, sebuah keajaiban dunia, layak masuk Guiness Book of Record kategori hal absurd dan layak mengundang Jaya Suprana untuk sekedar kongkow makan mie instant. Luar biasa.
Kami berprasangka, jangan-jangan nilai-nilai buruk kami hanya sepersekian persen bobotnya untuk masuk kedalam nilai raport. Nilai tertinggi kami itulah jangan-jangan yang menjadi bobot tertinggi untuk perhitungan. Entahlah.
Dan kemudian kami tahu, bahwa beliau menyimpan "nilai sesungguhnya", yaitu nilai proses kita mengerjakan soal, sependek apapun yang kita tulis itu ada nilainya.
It's not about number, it's all about value..it's all about how you appreciate the process..
Ketika pembagian raport, dengan senyum yang sangat jarang, Pak Silay hanya berujar, "Ada yang merah? enggak ada kan?..he he he" giginya yang menghitam pun terlihat.
Ah, Salam pak Silay, Selamat Hari Guru..
***
Artikel dipublish pertama di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H