Jika disuruh Helmi Yahya untuk menebak salah satu hal ajaib yang paling sering terjadi di dunia ini, maka jawaban saya adalah transformasi. Jika dicermati kok ya rasanya ndak mungkin, tapi kok ya kejadian gitu lho.
Gini contohnya, dulu saya berkawan dengan cukup banyak anak band. Kehidupannya ya mewah; makan jarang, pilih jalan kaki ketimbang naik angkot, ngirit yang penting bisa nongkrong, ngudut dan tiap seminggu tiga kali bisa bayar studio band barang sejam dua jam. Belum lagi gonta ganti pacar dan tentu saja, modat, wakas, kobam dan istilah sejenisnya yang berbau ngefly kami lakoni.
Eh lhadalah, beberapa waktu lalu kami reuni sekolah dan terkejutlah saya karena salah satu teman saya yang dulu gabung jadi anak Punk, klub lifestyle artsy yang terobsesi pada mural dinding rumah penduduk, eh kok sekarang sudah pakai katok cingkrang, berpeci dan tentu saja berjanggut. Untungnya dia ndak tinggal di Jakarta, kalo iya, pasti  lebih ramai lagi wall fesbuk saya, iya kan? Pasti iya.
Karena penasaran, saya pun iseng bertanya-tanya proses transformasinya dari seorang anak punk yang bau wedus hingga jadi salaf begini. Dan dijawab transformasinya tidak melalui proses, alias dadakan.
Wah, dadakan? Ini kan melanggar kitab suci Charles Darwin terhadap transformasi umat manusia yang berasal dari kera lalu lambat laun berproses menjadi makhluk yang paling sempurna, berani-beraninya teman saya itu.
Menurut sang profesor suatu perubahan pasti melalui proses. Darwin bertolak belakang dengan ajaran agama, dimana ada Kun Fayakun disitu, tapi apa berani MUI menggugat Darwin dengan bukti teman saya tadi? Ah, sudahlah.
Fenomena dadakan ternyata bukan hanya terjadi pada tahu bulat, tapi juga terjadi dengan seorang Lady Gaga, lahir dengan nama Stefani Germanotta, dulunya Gaga seorang yang pemalu, tapi mendadak melepas topeng malu sesaat dia akan naik panggung pertama kali.
Panggung menjadi titik balik sifatnya. Menurut saya, Gaga bisa berubah karena mengeluarkan "inner" nya. "Inner"panggungnya berbicara. "Inner" bisa berupa dua hal, menjadi baik atau sebaliknya. Kalau teman saya, Irfan Sembiring "ROTOR" dan Kang Hari Mukti  yang dulu "nakal"nya ekstrim lalu lantas menjadi salaf. Beda dengan Gaga.
Pernah dengar istilah "nakal" telat? Nakal telat bisa disebabkan satu sebab saja, yaitu kekangan orang tua. Jangan ditanya berapa banyak teman saya yang justru nakalnya telat.
Contohnya Paijo, dulu anak alim kemana-mana selalu di anter Honda CB 70 bapaknya dengan pesan-pesan sebelum masuk kelas "Awas, jangan lirik temen perempuanmu, harom" Kata-kata itu selalu dipegang hingga lulus kuliah. Paijo yang kerja di kota, kaget kebablasan dan akhirnya menghamili tak lain dan tak bukan, dosennya sendiri. Malah rusak.
Kita hidup di zaman di mana transformasi berubah sangat cepat. Mungkin hanya meong yang tidak bisa berubah menjadi guguk, selebihnya apapun bisa. Seorang Awkarin pun mengalami transformasi dari seorang gadis berjilbab dan berprestasi menjadi gadis yang katanya penuh dosa hanya dalam sekejap.
Siapa penyebar transformasi ini? Tentu saja sosial media, jika seorang Lady Gaga membutuhkan sebuah media bernama panggung, maka sekarang seorang Awkarin hanya butuh jempol dan gadget untuk berubah.
Semua butuh pengakuan, teman saya di atas sudah diakui oleh kaum alim sebagai bentuk dari hijrah, Gaga dan Awkarin pun diakui oleh netizen sebagai simbol kebebasan, simbol yang muncul ratusan tahun lalu dan selalu muncul di setiap zaman. Namun kali ini beda, simbol ini menyebar dengan lebih cepat.
Jika Minke oleh Pramoedya digambarkan sebagai sosok perlawanan terhadap kemapanan feodal dan Sex Pistols adalah perlawanan terhadap kaum kaya. Maka kali ini muncul gerakan perlawanan terhadap kemapanan hirearki.
Anak harus mengikuti kemauan orangtuanya, anak harus menjadi seperti yang diminta bapak ibunya, anak harus menjadi tauladan, pintar disekolah dan hal preketek lainnya, itu sudah tidak laku.
Gen Z Â mengubah semua itu, itupula yang menjadi pertimbangan saya ketika melihat sosok Agus Yudhoyono yang tiba-tiba loncat dari panggung kampanye untuk melakukan stage drive kearah penonton, apakah Agus saat itu berpikir bahwa dia sekeren Kurt Cobain?
Saya jadi beropini, jangan-jangan Agus ini tidak dicalonkan oleh Demokrat, malah justru mencalonkan diri. Jangan-jangan memang  keinginan dalam dirinya bukan menjadi tentara atau politikus, tapi justru ingin menjadi rocker? Pilkada menjadi momen dirinya untuk "memberontak", biarlah tidak menjadi rocker, yang penting saya ada di panggung, kira-kira kan gitu.
Disini, Rene Descrates harus rela ilmu filsafatnya tergeser oleh tombol like dan share, cogito ergo sum sudah berubah menjadi ego actum ergo sum, atau "saya bertindak, maka saya ada".
Itulah filosofi gen Z, dan ini yang coba di serap oleh seorang Agus Yudhoyono demi simpatisan kaum muda, jadi ketika dia berada dipanggung seketika itu pula naluri rockernya muncul, maka keluarlah "inner" sang Agus dan loncatlah dia. Dengan meloncat kira-kira pesannya begini: Hei bro! inilah aku!
Cek, berapa like dan share yang muncul? Rene, sorry to say, you lose..
Dari situ saya lagi membayangkan, bahwa antara tulisan ini dan tulisan saya yang sebelumnya disini ada kaitan erat. Ketika Agus meloncat, bisa jadi di seberang sana ada seorang Awkarin dan aw-aw yang lain sedang menatap layar smartphone sambil terkesima.
It was me!..awww
***Â
Tulisan dimuat di blog pribadi,disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H