Jadi, jangan melakukan pembelaan dengan dalil ini penghormatan atribut negara, buang jauh-jauh. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk menghormati atribut negara ketimbang mengurusi plesiran anak pejabat, dan istri pejabat tentunya.
Termasuk mengurusi WNI / TKI yang ditolak masuk oleh imigrasi negara lain, atau kasus seksual dan pembayaran gaji. Ingat lho TKI adalah represent of our country juga, disitu adalah letak kebanggan kita sebagai bangsa, karena apa? Karena jelas, TKI menyumbang devisa bagi negara! Sudah selayaknya mereka mendapat keistimewaan juga, mendapat perlindungan maksimal 7x24 jam. Mereka menghasilkan, bukan plesiran.
Sudah selayaknya mereka diberi jemputan pesawat khusus pulang ke Indonesia jika mereka mengalami tindakan sexual abuse, seperti yang para diplomat lakukan terhadap pejabat publik (katanya lho..) atau terlantar. Jangan tunggu ada yang sekarat dulu, tunggu jadi viral dulu baru kerjasama dengan Kementrian Tenaga Kerja untuk penyediaan pesawat.
Dan mulai sekarang, laporan-laporan pelecehan seksual terhadap TKI atau terlantarnya mereka di negara lain sudah seharusnya NOL, jika memang itu yang KBRI/KJRI lakukan.
Jadi, masalah anak Fadli Zon adalah masalah etika bapaknya, etika pejabat publik. Dan seperti yang dianjurkan, jika ingin membahas hal ini, bahaslah dengan rujukan yang tepat; UU, fatsoen, tradisi dan kebiasaan, maupun hukum internasional.
Dan penulis telah membahas dengan tiga hal diatas, pertama adalah dasar etik mengacu kepada kode etik DPR RI pasal 6 ayat 4, kedua adalah fatsoen (etika/sopan santun) pejabat publik, ketiga adalah tradisi dan kebiasaan. Ya, tradisi dan kebiasaan yang norak dan sudah harus dirubah.
Peduli tak apa, asal jangan berlebihan hingga ada perlakuan atau penjagaan khusus yang membuat kecemburuan dan penyakit sosial merebak. Masyarakat kita ini lebih peduli, lebih sensitif, dan lebih bawa perasaan untuk urusan etika publik, terutama pejabat.
Jadi, berubahlah dengan beretika
Selamat mudik dan salam NKRI
***
Tulisan juga dimuat di blog pribadi DISINI