"Selalu ada mutiara yang tercecer, di tengah badai yang buruk."
Itulah yang penulis rasakan di tengah kepungan media sosial dalam pemberitaan tiada henti persoalan warung makan dan Perda, belum lagi berita memalukan soal ghosob-nya mantan menteri yang enggan mengembalikan harta yang dulu pernah dipakai. Ingin rasanya mematikan gadget saat itu juga, tapi....
Di tengah berita itu, tersiar kabar yang paling melegakan, lebih dari itu, membanggakan sebagai anak bangsa Indonesia. Satelit Indonesia perbankan pertama milik PT Bank Rakyat Indonesia bernama BRIsat yang dibeli dari SpaceSystem/Loral, LLC perusahaan Amerika Serikat, pada Sabtu 18 Juni 2016 lalu berhasil diluncurkan dari French Guiana, Amerika Selatan oleh perusahaan asal Perancis, Arianespace dengan menumpang roket Ariane 5.
Ada kebanggaan sekaligus kegamangan ketika membaca berita ini. Bangga karena ini sebuah momen peluncuran satelit. Momen peluncuran satelit gitu, apalagi ini satelit Indonesia, kebanggan itu sebanding dengan momen pertama kali khatam Al Qur'an lho, bangganya luar biasa.
Namun, ada juga kegamangan di situ, kita tahu bahwa BRI adalah perusahaan BUMN yang mengurusi bidang Perbankan, ngapain lantas masuk ke bisnis satelit yang notabenenya lebih ke arah telekomunikasi? Pada 2014 lalu, direktur BRI kala itu Sofyan Basyir, ditanya oleh para wartawan dengan pertanyaan yang sama, jawaban beliau, “Kalau Indonesia itu seperti Tiongkok atau India, memang tidak perlu,” jawab Sofyan Basyir. Tiongkok atau India adalah negara daratan, di mana semua jalur komunikasi bisa dilakukan secara mainland (darat) lewat kabel biasa, bahkan daratan Eropa yang bisa terhubung antarnegara via kabel darat. Lha, kalau Indonesia?
Indonesia terhubung sepanjang 5200 Km dari barat ke timur dengan kondisi berpulau-pulau, bagaimana menghubungkan itu semua? Apalagi BRI dikenal sebagai bank yang fokus pada wilayah-wilayah pelosok di seluruh Indonesia, dari beragam kepulauan yang harus terintegrasi dalam sistem teknologi informasi. Dengan satelit, wilayah operasional bisa ter-capture dengan baik.
Bagaimana dengan fiber optik?
Pertanyaan dasar, lebih cepat dan mudah mana cara untuk mengetahui kondisi lalu lintas di jalanan yang terpencil, apakah menelusuri setiap jejak jalan? Ataukah melalui pantauan aplikasi yang termonitor dari satelit, sehingga terdapat warna merah untuk macet dan hijau untuk lancar? Sudah pernah install aplikasi Waze? Nah, bukan cuma lebih cepat, tapi tentunya lebih murah. Inilah sisi bisnis yang disasar oleh BRI.
Ini tentu sangat sejalan dengan Nawacita, infrastruktur Indonesia Sentris termasuk infrastruktur sistem perbankan dan telekomunikasi harus terus dimajukan, jangan sekali-kali mundur. Apa pun isu yang ada, Infrastruktur kita harus jalan terus bung!
Apakah ilmu persatelitan dimiliki BRI?
Penulis mendapat informasi langsung dari kawan yang bekerja di BRI bahwa BRI pada pertengahan 2015 lalu sudah mengirim tenaga ahlinya ke Amerika untuk 'sekolah' khusus soal satelit. Jadi kalau masih ada nada sumbang, lebih baik ditarik saja, ganti dengan nada merdu.
Kegamangan berikutnya soal dana, membuat satu tipe financial satellite full dengan konsep perbankan dan telekomunikasi itu harus benar-benar canggih, tidak bisa setengah-setengah, sistem teknologi informasinya harus kelas atas, apalagi ini satelit keuangan pertama di dunia, kasarnya, satelit ini harus mahal.
Betul memang, biayanya mahal, sebesar USD 220 juta atau setara 2.5 triliun rupiah, dengan biaya investasi 3.37 miliar rupiah. Mahal? Ya, bagi kita yang lantas beragumen ngawur, jangan-jangan kita hutang lagi? Uang dari mana BUMN bikin satelit? Jual aset?
Begini, laba bersih BRI pada kuartal-1 2016 saja sudah tercetak 6.25 triliun, jika memakai prediksi tahunan maka laba bersih BRI 2016 mencapai 25 triliun. Bagi Anda yang hobi investasi dan suka buka laporan keuangan perusahaan, angka 2.5 triliun bukanlah angka yang mahal bagi BRI. Apalagi jika dilihat pada detail penambahan aset tetap, tercatat saldo pengembangan satelit sudah mencapai 2,49 triliun rupiah, artinya biaya pembelian sudah hampir lunas tanpa menganggu performance keseluruhan dari BRI.
Masih ada yang ragu?
Mengamankan Eksistensi NKRI
Kegamangan berikutnya adalah soal "mengamankan" slot orbit pada 150.5 Bujur Timur bekas milik Indosat (Palapa C2) yang habis masa orbitnya.
Slot orbit, sering disebut sebagai kavling, dulunya adalah milik Indosat yang pada tahun 2002 lalu dijual kepada Temasek dengan angka di bawah nilai buku, 'hanya' 5,7 triliun rupiah dengan alasan penyehatan (bandingkan ketika Temasek menjualnya lagi ke Qatar Telecom sebesar 16 triliun), ketika Indosat dijual artinya kavlingnya pun ikut terjual.
Artinya apa? Ketika kavling kita terjual dan dikuasai oleh asing, bahasa awamnya, asing akan memiliki akses yang sangat mudah untuk memata-matai jaringan informasi kita, ini adalah titik yang pelik, dimana jaringan informasi itu menyangkut segala aspek dari ekonomi hingga keamanan negara.
Di saat ini, telik sandi bukan lagi cuma seorang James Bond dengan kemampuan brilian, tapi juga bagaimana canggih dan liciknya sebuah teknologi informasi. Siapa yang menguasai ini, dia akan menguasai dunia, dan dahulu..kita menjualnya. Tapi sekarang? Kavling itu sudah kembali ke Ibu Pertiwi.
Masih ingat kan kasus disadapnya telepon mantan Presiden SBY oleh Australia? Salah satu penyebabnya karena sistem informasi kita yang lemah, bahkan beberapa satelit kita dalam status sewa, bukan milik sendiri.
Lho, bukannya Indonesia memiliki jatah kavling yang di atur dalam International Telecommunication Union (ITU)?
Memang berapa kavling kita punya? Tidak banyak kita punya slot, wong satelit saja kita cuma punya 5 yang beroperasi, jadi 6 ditambah BRIsat. Apalagi kavling atau slot itu modelnya reserve, artinya jika ada slot nganggur, semua negara berhak mengajukan notifikasi slot, dan itu sistemnya antrian. First come, first get. Dan jika suatu negara gagal dalam meluncurkan satelit, harus menunggu 2 tahun bagi negara berikutnya untuk mendapat kesempatan peluncuran.
Bayangkan, berapa banyak negara yang akan antre untuk sebuah slot orbit? Apalagi orbit BRIsat ini ditengarai adalah orbit terbaik di mana hanya dizinkan 360 satelit beroperasi dijajarkan dalam rentang radius 360 derajat. Namun karena lokasi yang terbaik tadi, menurut Dahlan Iskan, orbit ini menjadi sangat laris dan saat ini tak kurang ada 900 satelit yang beroperasi di atas Papua sana! Dari 360 menjadi 900 satelit dari seluruh negara di dunia. Wow! Jadi peluncuran BRIsat ini penuh dengan muatan nasionalisme. Jika slot ini tidak diambil BRI, asing lagi lah yang akan mengambil dengan suka cita.
Jika mengutip kata-kata Rheinald Kasali, bahwa negara ini butuh BUMN yang bisa menjadi powerhouse atau sumber kekuatan di negeri sendiri, sudah saatnya BUMN kita dikelola dengan sangat profesional, jauh dari muatan politis. Lupakan jual-menjual aset negara, justru isi aset negara dengan sumber daya teknologi yang canggih, apalagi teknologi informasi yang dimiliki BRIsat ini bisa membuka harapan bagi satelit pertahanan Indonesia yang rencananya akan diluncurkan pada 2019.
Bahkan bukan tak mungkin, dengan kembalinya para ahli-ahli satelit Indonesia yang bekerja di luar negeri saat ini, kita akan dapat melakukan terobosan. Ya, sebuah peluncuran satelit dari negeri kita sendiri.
Terlambat? Late is always better than never.
Salam NKRI
***
Sari berita:
Artikel dimuat juga di blog pribadi DISINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H