Kegamangan berikutnya soal dana, membuat satu tipe financial satellite full dengan konsep perbankan dan telekomunikasi itu harus benar-benar canggih, tidak bisa setengah-setengah, sistem teknologi informasinya harus kelas atas, apalagi ini satelit keuangan pertama di dunia, kasarnya, satelit ini harus mahal.
Betul memang, biayanya mahal, sebesar USD 220 juta atau setara 2.5 triliun rupiah, dengan biaya investasi 3.37 miliar rupiah. Mahal? Ya, bagi kita yang lantas beragumen ngawur, jangan-jangan kita hutang lagi? Uang dari mana BUMN bikin satelit? Jual aset?
Begini, laba bersih BRI pada kuartal-1 2016 saja sudah tercetak 6.25 triliun, jika memakai prediksi tahunan maka laba bersih BRI 2016 mencapai 25 triliun. Bagi Anda yang hobi investasi dan suka buka laporan keuangan perusahaan, angka 2.5 triliun bukanlah angka yang mahal bagi BRI. Apalagi jika dilihat pada detail penambahan aset tetap, tercatat saldo pengembangan satelit sudah mencapai 2,49 triliun rupiah, artinya biaya pembelian sudah hampir lunas tanpa menganggu performance keseluruhan dari BRI.
Masih ada yang ragu?
Mengamankan Eksistensi NKRI
Kegamangan berikutnya adalah soal "mengamankan" slot orbit pada 150.5 Bujur Timur bekas milik Indosat (Palapa C2) yang habis masa orbitnya.
Slot orbit, sering disebut sebagai kavling, dulunya adalah milik Indosat yang pada tahun 2002 lalu dijual kepada Temasek dengan angka di bawah nilai buku, 'hanya' 5,7 triliun rupiah dengan alasan penyehatan (bandingkan ketika Temasek menjualnya lagi ke Qatar Telecom sebesar 16 triliun), ketika Indosat dijual artinya kavlingnya pun ikut terjual.Â
Artinya apa? Ketika kavling kita terjual dan dikuasai oleh asing, bahasa awamnya, asing akan memiliki akses yang sangat mudah untuk memata-matai jaringan informasi kita, ini adalah titik yang pelik, dimana jaringan informasi itu menyangkut segala aspek dari ekonomi hingga keamanan negara.
Di saat ini, telik sandi bukan lagi cuma seorang James Bond dengan kemampuan brilian, tapi juga bagaimana canggih dan liciknya sebuah teknologi informasi. Siapa yang menguasai ini, dia akan menguasai dunia, dan dahulu..kita menjualnya. Tapi sekarang? Kavling itu sudah kembali ke Ibu Pertiwi.
Masih ingat kan kasus disadapnya telepon mantan Presiden SBY oleh Australia? Salah satu penyebabnya karena sistem informasi kita yang lemah, bahkan beberapa satelit kita dalam status sewa, bukan milik sendiri.
Lho, bukannya Indonesia memiliki jatah kavling yang di atur dalam International Telecommunication Union (ITU)?
Memang berapa kavling kita punya? Tidak banyak kita punya slot, wong satelit saja kita cuma punya 5 yang beroperasi, jadi 6 ditambah BRIsat. Apalagi kavling atau slot itu modelnya reserve, artinya jika ada slot nganggur, semua negara berhak mengajukan notifikasi slot, dan itu sistemnya antrian. First come, first get. Dan jika suatu negara gagal dalam meluncurkan satelit, harus menunggu 2 tahun bagi negara berikutnya untuk mendapat kesempatan peluncuran.