Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wahai Umat, Mau Sampai Kapan Kita Bersumbu Pendek? Atau Ada "Framing" Lain?

17 Juni 2016   22:59 Diperbarui: 19 Juni 2016   10:02 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.klikkabar.com

Kita yang terlalu sensitif mengaitkan itu kepada soal agama, yah mentang-mentang lagi bulan puasa, buzzer lantas punya amunisi untuk mengadu domba. That's it! Kita sedang diadu domba!

Penulis pernah bekerja di Serang selama dua tahun lebih, dan juga daerah-daerah lain di Indonesia, satu ciri khasnya sama. Ketika kita singgah di kota dimana nuansa syariahnya kental, seperti di Serang, di Kudus, di Padang dan kota-kota lain, budayanya memang sangat religius. 

Perda syariah di terapkan apalagi jika bulan Ramadhan. Jangan ditanya kawan, Mxx pun tutup, serius ini! Kata siapa Mxx buka di Serang pas jam siang puasa? Tidak benar.

Jadi bagi umat nasionalis. Perlu di tekankan, Perda syariah lahir karena budaya masyarakat yang religius, jadi budaya nya dulu yang mengakar lalu di sah-kan menjadi sebuah Perda. Untuk apa? Untuk memperkuat "cita-rasa" kota religi dengan payung hukum. Itu katalisnya. 

Jadi jangan mem-beo dengan mengatakan bahwa Perda syariah itu menghambat, atau secara melodrama berkata bahwa puasa itu adalah kesunyian interaktif kita dengan Tuhan, jadi tidak perlu Perda. Halah, jam bedug magrib mundur sedikit aja kita sudah ngeluh kok. Ini soal budaya, So keep respect!

Dan bagi umat agamis, yang sama melodramanya dengan nasionalis. Di tekankan lagi juga, budaya religi di daerah kalian itu sudah puluhan tahun, ingat puluhan tahun! Sudah mengakar, bahkan sudah sejak zaman Walisongo budaya itu diterapkan, contohnya di Demak. 

Lalu anda semua berpikir bahwa Presiden mau begitu saja mencabut Perda yang melindungi budaya religi tadi? Haduh mas mbak.

Andaikan ini ya, andaikan, Perda itupun di cabut, lalu apakah para pedagang warteg lalu senantiasa membuka dagangan dengan riang gembira, dan kami-kami ini yang sering mengeluh haus ketika siang hari lantas urun rembug suka cita membatalkan puasa kita? Kami tersinggung mas mbak, kami tersinggung! Memangnya iman kami cuma setipis kertas HVS 70 gram? 

No way, iman kami masih lebih mulia dari cuma sekedar es teh manis dan nasi rames ayam kecap! 

Di daerah kalian itu, jangankan ada pencabutan Perda, baru isu ada dukun santet saja sudah di gerebek beramai-ramai oleh para jawara kampung. Apa berani seorang Tjahjo Kumolo jadi pesakitan? Atau kepentingan Presiden soal tinjau lokasi proyek, dimana di lokasi tadi banyak menjadi lokasi proyek pembangkit listrik, jalan tol integrasi, waduk dan sebagainya, apa terus pak Presiden jadi enggan untuk blusukan gara-gara ancaman para jawara?

Eh, tapi mas, bisa saja rumor pencabutan Perda yang bermasalah sesaat setelah kasus di Serang itu sebagai sarana "test kedalaman air" bagi Presiden?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun