“Sejarah ditulis oleh Pemenang”
Itulah yang terjadi di Indonesia ketika kami-kami ini yang dulu masih duduk manis di sekolah dasar, harus bersiap sambil bawa cemilan untuk bergadang malam setiap tanggal 30 September tiba, itulah previlege kami sebagai anak kecil, yang dilarang keras nonton "adegan berdarah" oleh bapak ibu kami, bahkan film Barry Prima sekalipun. Tapi soal film G30S, justru kami di wajibkan memelototi satu persatu pisau "gerwani" dalam mengiris para Jenderal yang ditangkap. Ah, adegan berdarah yang mengasyikan dulu.
Setiap adegan terekam hingga kini dan menghasilkan satu propaganda otak yang luar biasa, kami anti-komunis, komunis itu jahat. Belakangan kami tahu setelah rajin membaca beragam buku, novel dan sebagainya, bahwa adegan dalam film itu adalah adegan khayal. Peristiwa itu sendiri masih terkunci dalam kotak pandora yang mustahil dibuka.
Tidak dijelaskan dalam film itu ( ya iyalah) adegan setelah 1965, adegan ketika AD dan kawan kawan membasmi para gembong dan anggota PKI beserta keluarga, kerabat jauh, simpatisan, tetangga yang pernah dikirimi beras hingga teman kecil yang entah darimana juntrungannya. Jumlahnya tidak kurang dari 500 ribu jiwa, bahkan ditengarai lebih dari 1 juta jiwa.
Benarkah tindakan tersebut? Jika mengacu kepada pendekatan das sollen pasca peristiwa 1965, maka tindakan AD adalah betul. "Yang salah harus dihukum, yang memberontak harus di basmi", itulah pendekatan yang di gaungkan jendral besar kita H M Soeharto dalam menghadapi komunis pada 1965. PKI adalah kesalahan fatal, tragedi 1948 adalah contohnya dan kesalahan harus ditebus dengan nyawa.
Ya betul memang pada 1948 PKI telah bersalah hingga Amir Syarifudin dieksekusi sebagai tanggung jawab politik. Tetapi hukum "seharusnya" tidak demikian, das sein atau kongkritnya untuk kasus 1965 bagaimana? Tidak ada yang tahu sampai saat ini, tidak pernah ada pengadilan, gelap, semua hanya ber-manuver menjadi yang paling tahu sejarah.
Kita lupa bahwa sejarah hanya berhak diungkap oleh pelaku sejarah itu sendiri. Karena masih gelap, jadi apakah tindakan AD dalam membasmi para "komunis" itu memang "betul"? Dan apakah acara TV wajib itu memang layak tayang? No one can answer.
Celakanya, generasi kekinian yang saat ini berteriak anti-komunis seperti kesetanan bisa dipastikan kurang baca, kurang selow dan tentunya kurang ngopi dan ngudut untuk berpikir. Bacaan mereka cuma satu, dinding fesbuk sekawanan habib atau jualan seprei ala-ala.
Mungkin bisa dimaklumi karena buku-buku pembanding relatif bersih dari peredaran, hingga beberapa dari mereka dipastikan belum membaca memoar atau novel kesaksian para eks-Tapol. Tapi sekarang, mbah google-lah yang berkuasa kawan.
Tidak perlu mempelajari komunis itu sendiri, tapi setidaknya sebelum kita menulis di dinding fesbuk dan berteriak "anti-komunis, hidup NKRI", kita punya bayangan sejarah. Agar tidak asal teriak tapi justru melupakan kawan kita yang mau mendirikan negara Khilafah itu. Hei, ayo bangun!
Sudah seperti sebuah sumpah, tragedi 65 tidak pernah akan tuntas, pun dengan saat ini. Yasudah, biarkan pandora membuka kotaknya sendiri. Justru isu kebangkitan komunis yang entah darimana datangnya, tiba-tiba muncul, terutama dengan simposium anti-PKI dan..tandingannya, hebat betul.
Penulis pernah menulis pada Hentikan Paranoid Palu Arit, dimana komunis bukanlah ideologi ecek-ecek, komunis membutuhkan pondasi kuat dulu sebelum partainya terbentuk. Lha gimana mau kebentuk kalau sifat pemuda-pemudinya lebih suka ngomongin masalah mantan dan saling bertanya "enak gak semalem?" Ketimbang diskusi ala bung Hatta atau minimal buat tulisan yang njendul dan mak-jleb soal ke”kiri”-an. Gak ada bung.
Ini kan jadi kecurigaan, apakah ini semacam pemanfaatkan generasi kekinian yang gila eksis tapi kurang baca tadi, supaya minimal meramaikan dinding fesbuk dengan kata-kata patriotis?
Jadi, apa yang dikatakan oleh seorang Jendral soal kebangkitan komunis bisa dibilang absurd, pun dengan tokoh Wahyu Setiaji yang di tengarai anaknya Nyoto yang sedang menghimpun kekuatan komunis di Indonesia. Come on, plis deh..Ngantri iphone 7 atau Samsung edisi terbaru masih lebih menarik ketimbang itu.
Wahyu Setiaji bisa ngumpulin sampai 15 juta pendukung? Jelas yang paling ketar ketir adalah partai moncong putih, lha gimana enggak, pemilih PDIP di 2014 sebanyak 23 juta, hanya terpaut 8 juta saja, sebuah angka perolehan suara Partai Nasdem, dari sini apa Surya Paloh juga akan diam saja? Nasdem dengan segala daya upaya dan modal segambreng masih kalah dengan Wahyu Setiaji? Edian.
Jujur, penulis tidak pernah mendengar soal Jendral itu kecuali pernah bertugas di Timor Timur dan tergabung di partai garuda merah yang mencoba buka lapak ketika penyelamatan sandera di Filipina, juga Jendral satunya lagi yang..yah, baru-baru ini saja kedengeran gaungnya, setelah ada dalam list komisaris utama Bank Artha Graha dan ter-afiliasi dengan pendiri partai garuda merah itu yang pernah bertugas (juga) di Timor Timur.
Terhubung? Antara partai yang belum move-on dari Pilpres, ada dua Jendral yang ter-afiliasi dengan Timor Timur dan satu Habib lalu ujug-ujug membuat simposium anti-PKI? Jadi ingat beberapa meme fitnah terhadap Presiden waktu Pilpres lalu yang di kaitkan dengan isu ini, seperti dejavu. Wow, dengan asas uthak athik gathuk kok rasa-rasanya mulai tebak-tebak buah manggis ini arah isunya kemana.
Mudah-mudahan penulis salah.
Jadi, marilah berpikir, lebih masuk akal apabila ideologi komunis itu sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin berkembang di Indonesia. Kami lebih tertarik bagaimana bisnis start-up bisa berkembang dan mendapat izin dari Menkominfo, atau melihat MRT/LRT melaju mulus di Ibukota, ideologi kami adalah ideologi kerja, ideologi membangun bangsa, bukan kasak-kusuk bahas ideologi yang enggak jelas dan absurd arahnya.
Justru isu yang tiba-tiba muncul ini amat sangat mencurigakan. Isu komunis ini muncul tanpa ada 'pemanasan', efek viralnya berkembang cepat lalu tiba-tiba di serang balik dengan hebat, sangat hebat oleh pihak yang (maaf) muncul pula secara tiba-tiba, bahkan hingga muncul simposium, ditambah seorang Habib yang tiba-tiba berteriak bahwa pemutusan tayangan G30S setelah 1998 adalah suatu bentuk kebangkitan komunis, hey you kemana aja waktu 98? Ada apa ini?
Yah, terlalu cepat memang mencurigakan. Ah, sudahlah pak Jendral, lapakmu sudah tidak laku, jangan racuni kami kaum muda ini dengan khayalan tingkat tinggi itu. Sekarang saatnya kita bekerja, masih banyak lapak yang boleh di coba yang lebih laris dari sekedar isu perang saudara ..dan kalau boleh saran, yang paling hits dan cocok tentu saja..jualan tahu bulat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H