Lion gitu loch! Mbok ya sadar semua, Low Cost Carrier alias penerbangan pas-pas-an ya artinya semua di buat ngepas. Pas duitnya cuma bisa beli HT cap kwitang, ya HT itulah yang dipakai buat si supir bis shuttle, mungkin pas disuruh ke internasional eh malah dengernya domestik. Kalau kejadian kayak gitu, kamu mau apa?
Sepatutnya kita berterima kasih kepada mbak Zara Zettira yang dengan penuh kesadaran menuliskan pengalaman saudaranya ketika mengalami hal itu di Facebook. Sehingga kita ngeh dan terbuka matanya melihat: ini lho hasil konsep penerbangan pas-pasan tadi.
Apa konsep itu salah? Ya tidak, jujur kita membutuhkannya. Yang harus di tegakkan setegak-tegaknya adalah regulasi ketat dari pemerintah, utamanya Departemen Perhubungan.
Bukan cuma Lion Air yang terjadi kesalahan penurunan penumpang, Air Asia yang sama-sama berpredikat penerbangan pas-pasan tadi ikut-ikutan 'salah kamar'.
Plak! Wajah Dephub lagi-lagi ditampar. Keras lho ini! Kalau kemarin 'cuma' supir taksi, sekarang ini kelasnya pesawat. Plak! Plak! Plak! Sudah tiga tamparan. Masih belum sakit juga?
Lion Air dan Air Asia kok bisa-bisanya nyaris bebarengan, aroma konspirasi tercium. Jangan-jangan memang sudah sering terjadi sebelumnya? Kalau mbak Zara Zettira tidak menuliskan di status Facebook, jangan-jangan ini tidak pernah terungkap? Ada apakah?
Seperti dijelaskan John Brata bahwa proses pendaratan pesawat harus melalui mekanisme persetujuan pihak bandara, dalam hal ini dikelola oleh Perhubungan Udara. Meskipun ketika operasional pengangkutan penumpang dilaksanakan oleh maskapai namun alangkah naif dan bodohnya jika pihak bandara tidak tahu hal ini, keluar masuk penumpang mustahil tidak dikontrol pihak bandara.
Jujur saja, masyarakat tahu infonya bukan dari pemerintah, tapi dari akun Facebook. Jadi kalau saat ini penulis bertanya, jangan-jangan sebelumnya sering kejadian seperti ini (insiden salah kamar), itu adalah pertanyaan yang wajar.
Regulasi pemerintah amatlah miskin. Low cost carrier seharusnya wajib membuat kinerja pemerintah semakin besar, bukan sebaliknya.
Ini sebuah kritikan pedas untuk pemerintahan pak Jokowi, raport merah untuk transportasi nasional. Ignasius Jonan sebaiknya jangan umbar senyum terlalu banyak. Pembekuan izin ground handling bukanlah jawaban. Ini hanya case by case. Di belakang itu masih banyak masalah Lion Air dan juga Air Asia.
Citilink bisa dimajukan oleh pemerintah sebagai alternatif. Kelemahan Citilink cuma satu, jumlah rute dan pesawat yang kalah banyak. Sebagai anak usaha Garuda Indonesia, Citilink amat layak untuk dimajukan sebagai pesaing abadi Lion Air, kalau perlu mengambil alih pesawat termasuk maintenance service-nya.