Sumber foto: www.siperubahan.com
Mencermati tingkah polah adinda-adinda HMI kemarin ini kok rasanya belum habis pikir, organisasi intelektual yang banyak melahirkan tokoh-tokoh berpengaruh di bangsa ini bisa sebegitu degilnya melakukan aksi vandalis, aksi merusak yang mirip, nyaris persis dengan aksi supir taksi ketika demo transportasi online.
Wajar jika penyebutan kata “idiot” disematkan pada tingkah adinda-adinda kesayangan mbak Niken ini, lha wong mereka tiba-tiba nggeruduk kantor KPK, coret sana coret sini, bentrok sana bentrok sini yang tentunya membuat suasana jauh dari cita-cita HMI dahulu. Atau mungkin para adinda ini cuma asal ikutan masuk organisasi sebagai ajang hu ha hu ha? Sebagai ajang cari teman akibat efek samping akut terlalu lama menjomblo? Atau memang yang rusuh kemarin itu bukan adinda HMI, melainkan sejenis makhluk ghoib yang kenyang dengan nasi bungkus?
Memang apa sih cita-cita HMI dulu? Sekilas saja, HMI dibentuk atas prakarsa Lufran Pane, seorang mahasiswa tingkat pertama Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII) di Yogyakarta pada 5 Februari 1947. Pembentukan HMI kala itu ada dua tujuan: 1. Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia. 2 Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Point satu itu jelas, yaitu mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, derajat yang bagaimana? Tentunya derajat dengan pendidikan dan intelektual, bukan sebaliknya.
HMI dilahirkan sebagai bentuk modernisasi Islam, bahwa Islam bukanlah sekumpulan kaum yang mempertahankan tradisi dan pengetahuan tradisional (1). Jika boleh ditambahkan, didalam silabus Latihan Kader I tahun 2013, hal. 2 point B par. 5 Pengantar, tertulis: “HMI sebagai organisasi berbasis mahasiswa yang merupakan kaum intelektual, generasi kritis, dan memiliki profesionalisme harus mampu menjadi agen pembaharu di tengah masyarakat dan kehidupan bangsa.” Belum lagi jika mengacu kepada pasal 4 AD HMI. Jelas visi dan misi utama HMI adalah mencetak kader intelektual, kritis bukan anarkis dan vandalis.
Tak heran jika yunda dan kanda merasa malu hingga menulis surat untuk para adindanya, tentulah ini suara yunda dan kanda yang baik, yunda dan kanda yang telah menjadi tokoh-tokoh nasional, tokoh-tokoh yang juga anti korupsi, karena begitu banyak tokoh HMI yang baik, sangat baik. Yang masih mengedapankan visi dan misi HMI sejatinya.
Kembali kepada latar belakang mengapa adinda “HMI” bisa berbuat vandalis, didahului pernyataan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang: “Mereka orang-orang cerdas ketika menjadi mahasiswa, kalau HMI minimal LK I. Tapi ketika menjadi pejabat, mereka korup dan sangat jahat.”. Mari kita lihat secara nalar.
Pernyataan ini dianggap tendensius, karena spesifik membawa nama HMI, sehingga menimbulkan kesan bahwa HMI adalah biang korup di negeri ini. Alangkah “baper”nya anggapan itu, karena yang ditekankan unsur korupsinya adalah “ketika mereka menjadi pejabat”, bukan HMI-nya. Mereka menjadi sangat jahat “ketika mereka menjadi pejabat”. Perhatikan kata-kata itu, serius ini. Coba dipahami lagi, apakah ada tendensi bahwa peng-kaderan HMI berujung pada koruptor? Bukan. Sistem pejabatlah yang menjadi bahan kritikan disini.
Mengapa yang di bawa HMI? Karena HMI adalah organisasi mahasiswa islam intelektual terbaik, tidak ada yang menyangkal (untuk itu santai saja wahai adinda). HMI sampai saat ini tetaplah yang terbaik. Organisasi yang paling banyak melahirkan orang-orang besar, orang-orang cerdas.
Lalu mengapa terjadi korupsi? Bukan HMI-nya, tetapi sistem pejabat kita yang sudah turun temurun melahirkan sifat kolusi, korupsi dan nepotisme, ini yang menurut Saut harus ditutup lubangnya. Orang-orang secerdas HMI pun bisa menjadi koruptor karena sistem yang porak poranda ini.
Tak bisa dibantah, memang beberapa kader HMI terlibat korupsi, masuk hotel prodeo. Mari tengok kasus salah satu kader HMI terbaik, Anas Urbaningrum, mengapa Anas tersangka? Karena Anas menerima “hadiah” dari berbagai proyek, salah satunya Hambalang hingga 116,8 Milyar rupiah plus USD 5.26 juta. Apakah HMI yang salah? Ya jelas tidak, Anas terikat dengan sistem di negeri ini yang menganggap kasih hadiah em-em-an untuk proyek itu sudah lumrah.
Saut, yang sejak proses rekruitmen membawa konsep “pencegahan” tentunya ingin konsepnya itu berjalan, yang dirubah adalah sistem pejabat tadi, sistem bagi-bagi kue, budaya ini harus dirubah, harus ditutup lubangnya. Korupsi harus di cegah, bukan hanya di tindak.
Alangkah naif, jika Saut yang berlatar belakang BIN tidak mengenal HMI, sehingga bisa dinalar bahwa pembawaan nama HMI adalah bentuk ungkapan “orang cerdas yang pernah LK-1 saja bisa termakan oleh sistem korup pejabat”.
Ada yang berkomentar, “Jangan naif juga dong, HMI itu kan link-nya luas, isinya orang-orang yang punya posisi, satu kebagian yang lain juga mau.”. Ya betul, unsur link adalah unsur utama terjadinya KKN, dan tak dipungkiri memang orang-orang HMI sangat punya pengaruh di pemerintahan, jadi secara tidak langsung HMI sering diidentikkan dengan sistem itu.
Tapi lha mbok ya lebih intelek sedikit kalau komentar, adanya link-link seperti itu karena sistem pejabat lama yang sudah menempel, dibiarkan, hingga berkarat. Pejabat-pejabat termasuk anggota dewan terhormat sudah biasa dengan bisikan “eh, nanti kalau ada proyek, kasih ke aku ya”. Kalau ini sesama pengusaha sih tak masalah, tapi kalau pejabat publik? Apalagi menggunakan power-nya, ya kacau. Ini biang masalahnya.
Jadi, adinda-adinda yang tercinta, coba itu raup dulu, bilas wajah kalian dengan air wudhu dan berpikirlah jernih, kalau perlu menepi di Jalan Senopati Jogja sambil ngopi dan ngemil cilok untuk meresapi kembali visi dan misi HMI ketika dibentuk. Kalau memang pernyataan Saut melukai adinda, lebih elok jika adinda datangi seorang Saut Situmorang, Saut bukanlah selevel presiden yang perlu perjanjian berbulan-bulan untuk ketemu atau sekedar makan siang kok, atau sekalian saja ke ranah hukum tanpa harus ribut-ribut merusak, itu lebih elegan untuk menghargai intelektual adinda.
Terus terang, mohon maaf, tingkah adinda kemarin tidaklah lebih intelek dari tingkah supir taksi tempo hari, tak lebih. Penyataan maaf Saut Situmorang adalah bentuk kebesaran hati pribadi seorang Saut, bukan kemenangan adinda atau apapun.
Toh tindakan vandalis sudah terekam jelas di kamera manapun, sejarah sudah mencatat, nasi sudah menjadi bubur. Adinda sehat?
Note: Oya, itu tolong bon makan demo kemarin dibayar dulu.
Ket:
(1). Hariqo Wibawa Satria (2011). Lafran Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya. Jakarta: Lingkar. p. 397
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H