Bahkan yang anaknya rajin dirumah saja, para orang tua masih sulit mengontrol, apalagi jika anak enggak pulang sekolah? Apakah sang ustad bisa menjamin bahwa usaha rental internet tidak menjamur?
C. Pusing memikirkan keamanan
Nah, ini tidak perlu panjang x lebar. Anak pulang sekolah pun ada saja kekhawatiran orang tua, memang ada alasan beberapa ustad yang menyerahkan anak sepenuhnya pada Allah karena anak adalah titipan. Tapi ya enggak begitu caranya, apakah setelah dititipi lalu orang tua lepas tangan? Tidak, justru harus dirawat sempurna bukan?
Paranoid? Bukan, bukan karena paranoid para mamah akan pusing begitu, tapi memang belum ada kepastian keamanan di ibukota. Dari perampokan, kekerasan hingga penyimpangan seksual.
D. Pusing memikirkan agenda gaya hidup
Sudah jamak bahwa para mama memiliki agenda tetap yang menunjang ke-eksisan mereka, salah satunya di sekolah anak. Sekolah sudah menjadi bukan hanya rutinitas tetapi juga ajang ber-ekspresi para mama muda dalam bersosialisasi, terutama yang berprofesi ibu rumah tangga. Mosok mereka harus dirumah terus, jangan dong, semua butuh teman. Dan sekolah anak adalah tempat nongkrong yang convenient alias pewe.
Lha kalau ini di ganggu gugat, lantas kemana pelampiasan hasrat sosial itu? Jangan justru bikin kantong para papa jadi makin kisut karena situasional tongkrongan pindah ke mall.
Jadi point pertama, mutlak orang tua adalah tiang pokok terhadap akhlak, mental, kesehatan, pendidikan dan keamanan sang anak apalagi masa SD adalah masa emas. Tidak terbantahkan.
Point ke-2, soal asrama. Mungkin sang ustad masih terngiang kenangan indah masa di pondok pesantren dulu, dan melupakan kenyataan bahwa dia sudah diluar area itu sekarang. Jangan disamakan pondok pesantren atau madrasah yang berada di lingkungan tertutup dengan asrama yang menggunakan rumah penduduk. Ini alasannya:
- Rumah penduduk berada di area terbuka, tidak ada ikatan batin antara pemilik rumah dengan anak sekolahan, siapa yang menjamin keamanan?
- Jumlah anak sekolah di Jakarta sebanyak: 1,572,112 orang anak dari SD kelas 1 hingga SMA kelas 3. Jika satu rumah menampung 2 orang anak, maka harus ada 786,056 rumah di seluruh penjuru DKI Jakarta yang bersedia dan layak menjadi rumah asrama. Ingat, sekolah SD hingga SMA tersebar di segala lingkungan dari elit hingga kumuh, apakah yang di kawasan kumuh mampu untuk menampung?
- Bagaimana dengan anak-anak si pemilik rumah "asrama", yang pastinya menyebabkan conflict of interest? Kalau yang level SMA, bisa jadi menimbulkan benih-benih cinta segitiga. Dan ini berbahaya.
Point ke-3, Pembebanan APBD. Untuk satu anak, DKI harus mengeluarkan sedikitnya 70 ribu/hari/anak dari biaya makan penuh gizi 3x sehari, biaya sewa rumah penduduk, hingga ongkos jajan. Jika dikalikan, ada 110 milyar rupiah per hari yang harus dikeluarkan DKI. Itu baru satu hari. Jika satu bulan (20 hari) maka akan ada pengeluaran 2,2 Trilyun rupiah per bulan dari kantong DKI. Maaf, semoga ustad sehat.
Tentunya dari semua hal diatas patut dipertanyakan ambisi sang ustad dibalik pernyataannya. Beberapa point yang di klaim akan berhasil:
- Jakarta akan zero macet, ya zero macet jika transportasi sudah dibenahi plus orang-orang Jakarta sudah tidak di Jakarta lagi.
- Zero tawuran, ya akan zero tawuran jika semua anak ber-gadget ria dan setiap rumah “asrama” menerapkan jam siang sambil bawa pecut.
- Zero nongkrong, maaf, ini yang tidak bisa. Ketiadaan orang tua disamping remaja adalah faktor utama hasrat 3-N: nongkrong, ngudut dan ngopi. 3-N adalah kenikmatan sejati di ranah percaturan anak kost dan asrama dalam merayakan kebebasan. Dan hati-hati, kebebasan bisa berujung kebablasan.