[caption caption="Daffa Farros Oktoviarto, bocah SD yang menghadang laju pengendara motor di trotoar di jalan Sudirman Kota Semarang.(KOMPAS.com/NAZAR NURDIN)"][/caption]Masih teringat di kepala betapa asyiknya naik motor di kota sebesar Jakarta, entah dengan motor pribadi sambil goncengan dengan mantan pacar, dengan ojek pangkalan sambil menkmati aroma asem-asem legit keringat tukang ojeknya ataupun ojek online yang kethar-kethir setiap masuk kompleks perumahan. Motor di Jakarta seperti segalanya.
Bagi yang pernah atau sedang tinggal di kota besar Indonesia, tidak ada yang tidak pernah naik motor, minimal sekali setahun pasti pernah, terutama kalau ada demo. Lha wong mau naik apa lagi? Mobil? Bus kota? Ya enggak mungkin tho yo, kecuali ukurannya bisa dirampingkan seramping motor untuk selap-selip, terabasan cut alias potong jalan atau kalau perlu menyusup hingga gorong-gorong. Itulah keunggulan utama motor.
Motor adalah kendaraan yang sangat akurat sebagai sarana memata-matai mantan, sangat powerful sebagai lambang kejantanan, dan sangat mainstream sebagai alat untuk mengambil kembalian ibu mertua yang kurang di warung. Untuk lebih afdol, lengkapi dengan helm standart SNI, lebih bagus jika ada label ‘halal’-nya. Jadi, dengan segala keunggulan itu, wajar jika motor dinobatkan sebagai the King of Road alias Raja Jalanan versi kaum jongos-proletar.
Tapi makin ke sini, The King of Road makin sewenang-wenang, mereka tidak lagi mengindahkan rakyat yang mendukungnya. Bukan cuma selap-selip sesuai aturan lagi, tapi selap-selip berlawanan arah yang berbahaya buat kesehatan, bukan cuma jalan raya yang di gilas, tapi juga jalan trotoar ikut kena imbas. Apalagi kalau ada ibu-ibu bawa belanjaan pakai motor matik, lampu sein ke kanan, beloknya ke kiri, kaki di pelentang.., duh kelar idup lo! Kata anak kekinian.
[caption caption="youtube.com"]
Hebat nian, ketika para Polantas entah ke mana, Daffa tiba-tiba muncul dengan tangan saktinya sesakti pak polantas. Dengan keyakinan penuh menghentikan motor yang melaju di trotoar pejalan kaki. Bahkan berani menghardik the King of Road tadi dengan kata-kata “Kowe to sing mbalik (kamu tuh yang balik), salah sopo liwat trotoar (salah siapa lewat trotoar)?”
Haduh Nak, bahkan kami-kami ini yang sudah uzur, dewasa, mampu membuat keturunan lebih dari satu masih harus mesam-mesem kalau lihat kesewenangan seperti itu. Kalau kata Nabi, ada tiga hal mencegah kemungkaran, pertama lewat tindakan, kedua lewat lisan, dan yang ketiga lewat hati. Bahkan, kami belum bisa untuk yang ketiga. Sedangkan kamu Nak, poin satu hingga tiga dikupas tuntas.
Tindakan Daffa jelas diapresiasi oleh Polri, bahkan tak sungkan Brigjen Agus Rianto berbicara di media seperti ini, “Tentunya, itu suatu langkah bagus, berarti sejak dini memahami aturan lalu lintas.” Mohon harus dipahami bahwa tindakan Daffa itu justru mencoreng muka Kepolisian itu sendiri, dan mencoreng muka kita.
Bukan masalah paham peraturan. Lha itu bukan Daffa saja tho kalau urusan mengerti peraturan, kami yang akhil baliq ini lebih mengerti lagi, apalagi bapak-bapak Polantas itu, wah pasti juara satu cerdas cermat soal lalu-lintas. Tapi kemauan? Itulah yang tidak ada dalam diri kita, penulis dan Anda semua.
Willingness to prevent, atau kemauan untuk mencegah. Seperti yang dilakukan Daffa nyaris hilang dari diri kita. Kita terlalu menikmati privilege sebagai konsumen dan Polantas adalah pelayan. Cilakanya dua-duanya bergabung membentuk paguyuban adigang-adigung di jalanan, paguyuban tidak resmi yang anggotanya ditengarai melakukan saweran untuk kelangsungan pentas.
Akhirnya kita kehilangan nurani, Polantas pun kehilangan sentuhan service-nya. Ya, tidak semua Polantas begitu, tapi kenapa Daffa sampai cukup lama beroperasi di Jl. Sudirman, Semarang?