Jika anda pernah menonton The Big Short, di situ digambarkan Mark Baum melakukan riset lapangan untuk memastikan kondisi hunian mahal di Amerika Serikat, dan sesuai dugaan, hunian mahal tersebut kondisinya kosong, dibangun dan di beli oleh beberapa orang yang sama (kaya tentunya) dan hanya berperan sebagai pemancing naiknya harga properti di tempat lain.
Bukan tidak mungkin itu terjadi, ketika yang tersedia hanya rumah mahal akibat efek domino dan masyarakat ‘terpaksa’ untuk membeli, maka semakin besar peluang gagal bayar, bank yang selama ini dimanja oleh bunga harus bersiap dengan naiknya NPL (Non Performing Loan) atau kredit macet.
Saran Solusi
Solusinya pertama adalah kewaspadaan bank, masih beruntung bahwa perbankan kita masih menggunakan pola konvensional, bukan pola murni kapitalis seperti di US, dimana KPR diperjual belikan berkali-kali lipat lewat sistem derivatif saham.
Kedua, adalah tugas pemerintah menaikkan daya beli masyarakat, menjaga suku bunga bank dan mengontrol harga kebutuhan pokok.
Yang ketiga adalah mengkaji kembali proyek reklamasi lahan, yang dibutuhkan adalah bendungannya, bukan fokus ke propertinya. Amat salah kaprah jika yang di boomingkan adalah properti.
Bendungan pun tidak akan optimal jika dari sisi hilir tidak di benahi. Sampah dan pemukiman liar hukumnya wajib harus dan pasti untuk di tertibkan. Omong kosong menertibkan pemukiman dengan cara-cara lama.
Jikalaupun properti akan mekar, tugas pemerintah untuk menjaga harga agar sejalan dengan daerah lain, mengingat biaya yang muncul dalam proyek GSW itu sangat besar sehingga rentan terhadap mark-up harga jual yang membuat harga disana akan menggila, efeknya, harga akan terus di paksa naik, naik terus hingga meletus.
Keempat, untuk menghindari letusan, sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi khusus properti yang mengatur segala urusan tetek bengek properti. Percuma kita punya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Disinilah tugas sebagai eksekutor mengatur harga rumah / properti untuk rakyat.
Rakyat bukan hanya kelas bawah atau kelas atas, justru kelas menengah tanggung inilah pusat dari mekanisme harga terbentuk.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H