Dan terus terang, ketika di depan bule yang menyebut mereka takut ke Indonesia karena teroris, saya menyebut “Our president has a concept for 35.000 MW to freed us from the darkness in hundred of Island”, mata mereka hampir copot. “How many years?” “Five years!!”. Mata mereka copot beneran.
Apa mau dikata, Indonesia - di dalam persentasi - masuk peringkat 19 dari 20 negara dimana ada warganya yang masih belum memiliki akses listrik. Tetapi peringkat 12 dari 20 negara dengan kebutuhan energi primer hampir 2500 TWh. Mosok saya enggak ngebelain. Ini lho konsep kita, mereka harus tahu. Di bilang mimpi? Ya biarkan.
Kembali ke energi alternatif, jujur saya tertohok lho dengan pak Nizar Ahmed. Jangan-jangan kita hanya mentok di tongkang jagung saja?
Untuk mendukung program 35.000 MW, apa tidak ada celah dari sekian banyak pembangkit listrik yang dibangun untuk kita menggunakan energi alternatif?
Itu bisa dijawab ya dan tidak.
Kita sebaiknya mulai dengan kata tidak. Coba kita lihat pelet kayu, kelebihan pelet kayu pertama tentu saja bersih lingkungan sebagai hasil dari pembakaran. Pengurangan polusi tentu saja bisa ditekan drastis.
Kedua kalori, kalau selama ini kita menggunakan batubara sebagai bahan bakar, maka pelet kayu memiliki kalori mencapai 4800 kilo kalori (kkal), bahkan lebih baik dari batubara jenis Envirocoal yang berkelas 4000 kkal milik perusahaan tambang terbesar di Indonesia.
Belum lagi jika bicaranya limbahnya, batubara jelas masuk kelas B3, sedangkan palet kayu limbahnya bisa kita gunakan lagi sebagai pupuk. Kemudian bersifat renewable atau bisa diperbarui, dan terakhir pengembangan terhadap hutan rakyat atau istilah kekiniannya “multiplier effect”.
[caption caption="Pohon Kaliandra Merah (Calliandra colothyrsus) Sumber: balitbang.jatimprov.go.id"]
Melihat dari situ, tak ada alasan untuk kita tidak memanfaatkan, tapi..
Pucuk dicinta, Ulam tak tiba. Dengan harga minyak dunia yang nyungsep di level 30 – 40 USD per barel seperti ini, biaya untuk energi alternatif ini rasanya jadi mahal sekali, bukan mahal harganya naik, tapi mahal karena di atas harga minyak dan batubara yang anjlok.