Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Di]alog

31 Desember 2015   11:30 Diperbarui: 31 Desember 2015   13:55 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: www.noviaclaresta.blogspot.com"][/caption]Kopi hitam di meja itu tinggal tersisa setengahnya, di kiri kanannya sudah penuh terpapar butiran ampas hasil kecupan bibirku. Sonia masih saja telanjang di depanku dengan sebatang rokok cap 'merah' yang entah sudah batang keberapa dihisapnya.

"Akuilah, kamu sudah tidak muda lagi Jon, tidak ada rasanya"

Aku terdiam, sambil meraba kemaluanku yang sudah malu-malu kucing untuk muncul, memang benar apa katanya jadi sebaiknya aku diam.

"Huh, omongmu saja yang kuat, seakan dunia ini milikmu. Bahkan untuk mengakui kekuranganmu saja kau enggan!"

Aku berjalan ke arah jendela, kubuka lebar jendela itu, angin musim dingin segera menyeruak diantara kehangatan yang baru lima belas menit yang lalu kurasakan.

Ku hembuskan kretek ke luar jendela. Suara tokek sudah tidak ada, ah mungkin sudah tidur.

"Sepi sekali, bahkan binatang malam pun enggan bersuara karena melihat mukamu!"

"Diamlah Sonia!, tugasmu hanyalah menurutiku, entah aku menipumu atau jujur padamu itu sama sekali bukan urusanmu!"

Aku berbalik mengambil scotch dengan es, entah walapun angin berhembus sangat dingin tapi tidak untuk kami berdua, bahkan Sonia masih saja belum berpakaian.

Namun tiba-tiba wajahnya memerah.

"Dasar pecundang, dulu kau campakkan bulan langsat itu dengan kolormu yang amis. lalu dengan cacing abal-abal kau dekati aku, lalu sekarang? Mana pedulimu, dasar cacing bangsat!. Apa kau tidak pernah belajar bagaimana cara menghargai manusia, hah?" matanya berair.

Aku masih terdiam, gerahamku naik turun. Sonia tahu itu tandaku jika sedang marah.

"Sudahlah akui saja kekalahanmu Jon, kau kalah dari aku, kau kalah dari si kurus itu, bahkan kau tak berani menatapku sekarang, kau..kau kalah Jon!!"

"Diam Sonia!" bentak aku.

"Kau tak tahu sudah berapa banyak yang aku keluarkan untuk di posisiku sekarang, berapa banyak hah?!"

"Oh ya, mana pernah kau tahu, karena kau hanya menerima uang ku, kau berdansa bersamaku, mabuk bersamaku, kemudian bercinta bersamaku dan ketika aku payah, kau menghujatku seakan aku bangsat pecundang!..Bahkan kau posting semua kebencianmu kepada teman-temanmu yang merasa tahu segalanya ketika persidanganku!!" Aku terus membetaknya.

"Memang kau pecundang, tak ada kata yang pantas lagi untukmu..!"

Aku kembali terdiam, gelas scotch ditanganku serasa batu panas yang siap ku lempar.

I don't know how someone controlled you..

"Cuma satu hal yang bisa membuatku percaya kepadamu Jon" Sonia melembutkan ucapannya.

"Apa itu?"

"Nikahilah aku, cintailah aku seperti kau mencintai bulan langsat itu. Cintailah aku!, orang yang memilihmu Jon, tak peduli berapa uang yang kau keluarkan, aku hanya ingin kau pedu.."

"Kurang ajar!!..jangan bawa-bawa bulan langsat, kau hanya peduli uang ku, dan sekarang kau berkata begitu, haahh!!" Aku hilang kendali.

Seketika ku lempar gelas scotch kewajahnya, wajah yang mulus bagai keramik Cina. Tubuhnya terpelanting kebelakang, dahi sebelah kirinya mengucurkan darah segar berwarna ungu. Sonia terkapar, dia mati. Telanjang.

Gelas pecah berantakan.

I don't know how you were diverted..

Aku mengatur nafas dan kembali terdiam. Ajaib, suara tokek kembali terdengar, kunang-kunang datang menggerayangi plafon luar jendela. Tiba-tiba aku merasa pusing, pusing sekali seperti diserang vertigo.

Tiba-tiba aku teringat ucapan ibuku dahulu setiap ku merasa pusing seperti ini.

"Pergilah ke cermin, bicaralah"

Maka aku pun berlari kearah cermin besar di kamar ku yang luas, berharap mendapat jawaban.

"Siapa ak.."

Aku tercekat tak sempat bicara. Aku terpaku menatap cermin.

Tanpa sadar pelan-pelan tanganku meraih dahi sebelah kiri. Terasa basah, ku lihat tanganku.

Tanganku penuh darah..

Ya..Darah..

Darah berwarna ungu.

 

 

 

 

*Italic: "While My Guitar Gently Weeps" - The Beatles

_untuk para skizofrenia di senayan_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun