Kan keren kalau posting di IG terus ada yang komen..
"ihh anaknya udah bisa ngitung..lucu bangeettt"
"eh gimana sih sist ngajarinnya? anakku belum bisa nih, takut bentar lagi mo masuk SD"
"Si Adel baru bisa ngitung sampe tiga nih, belum lanjut lagi..duh gimana ya sist, please advice"
Dan seterusnya dan seterusnya.
Well, Mari kita mengingat memori jauh kebelakang, bagaimana dahulu ketika kami SD sang guru dengan telaten mengajari kawan yang sama sekali belum bisa mengucap B U..BU hingga menjelang ujian kenaikan kelas. Bu Guru yang selalu mengulang kata-kata satu, dua..satu ditambah satu hingga bibirnya berbusa. Bu Guru yang dengan sabar menuntun jari kami yang mungil membentuk angka satu, angka dua dan seterusnya. Bu Guru yang sabar namun tegas menenangkan kami yang selalu ribut. Bu Guru yang dengan pesonanya menenteng payung untuk seorang kawan yang kehujanan dan tidak dijemput orangtuanya. Bu Guru adalah segalanya bagi kami di sekolah dulu.
Kami hanya berharap bahwa guru tetaplah berjiwa seorang guru, jangan pernah terbersit untuk mempermudah kurikulum, mempercepat anak menjadi pandai. Bukan..bukan itu, guru terlalu mulia untuk sekedar memperpandai dan mempercepat kinerja otak anak yang pada dasarnya sudah diprogram oleh Tuhan.
Guru adalah pembentuk karateristik anak bangsa menjadi lebih bermartabat. Baik itu sekolah elit, maupun sekolah pelosok. Tujuan guru tetap sama.
Tapi..ataukah itu hanya nostalgia? Karena yang seperti itupun korupsi berjibun tak kenal ampun. Ah entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H